JAKARTA, KOMPAS.com - Polda Metro Jaya membeberkan sejumlah fakta baru yang ditemukan dari hasil gelar perkara kasus kecelakaan antara dua bus transjakarta di Halte Cawang-Ciliwung, Jakarta Timur.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo mengatakan, hasil gelar perkara diketahui bahwa bus Transjakarta yang dikendarai sopir J, tak mengurangi kecepatan ketika mendekati halte.
Hal tersebut terjadi karena J mengalami kejang-kejang dan hilang kesadaran setelah penyakit epilepsinya kambuh.
Baca juga: Kasus Kecelakaan Bus Transjakarta, Polisi Sebut Sopir Tak Mengerem karena Epilepsi Kambuh
Apa dasar kepolisian menyimpulkan fakta tersebut?
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, hal itu diketahui dari keterangan sejumlah saksi, yang diperkuat dengan hasil pemeriksaan Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) dan Laboratorium Forensik (Labfor) Polri.
"Hasil pemeriksaan dari pihak kedokteran kepolisian dan juga dari laboratorium forensik, memang si pengemudi bus B 7747 TK ini punya bawaan penyakit, riwayat kesehatan epilepsi," ujar Yusri dalam keterangannya, dikutip Kamis (4/11/2021).
Sementara itu, Sambodo mengungkapkan, ada saksi sekaligus rekan sekamar sopir J yang menyatakan bahwa J memiliki riwayat penyakit syaraf.
Saksi juga menyebut bahwa sopir J rutin mengonsumsi obat karena riwayat penyakit yang dimilikinya.
"Almarhum pernah bercerita bahwa dia pernah punya riwayat sakit syaraf, sering pusing, dan sering mengonsumsi obat hampir setiap hari. Yaitu mengonsumsi obat pusing dan obat syaraf," ungkap Sambodo.
Baca juga: Antisipasi Kecelakaan Terulang, Polda Metro Jaya Rekomendasikan 4 Hal untuk Transjakarta
Di tempat tinggal J, kata Sambodo, penyidik menemukan obat jenis Amlodipine dan Fenitoin yang rutin dikonsumsi.
Berdasarkan keterangan saksi ahli dari Biddokkes Polda Metro Jaya, Amlodipine merupakan obat untuk menurunkan tekanan darah.
Sedangkan Fenitoin merupakan obat keras untuk epilepsi.
"Fenitoin adalah obat epilepsi atau obat pereda kejang. Amlodipine obat bebas, bisa dibeli tanpa resep dokter. Kalau fenitoin adalah obat keras dan harus menggunakan resep dokter," tutur Sambodo.
Namun, Sambodo menyebut bahwa sopir J diduga kuat tidak meminum obat Fenitoin pada saat kejadian sehingga penyakit epilepsinya kambuh.
"Hasil Forensik menyatakan urine saudara mengandung Amlodipine. Tetapi tidak mengandung fenitoin sodium. Jadi obat syarafnya justru tidak ada. Yang ada obat amlodipine," kata Sambodo.
"Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat kejadian dia tidak sedang minum obat syaraf," pungkasnya.
Baca juga: Sopir Tewas Jadi Tersangka, Polisi Hentikan Penyidikan Kecelakaan Bus Transjakarta
Saat epilepsinya kambuh, J tidak berupaya melakukan pengereman ketika berada di dekat Halte Cawang-Ciliwung.
Dia justru menginjak pedal gas sampai akhirnya menabrak bus di depanya dengan kecepatan hampir 60 kilometer per jam.
"Alih-alih melakukan pengereman atau perlambatan, menjelang halte malah cenderung menambah kecepatan," kata Sambodo.
"Dia tekan gas, sehingga kendaraan tersebut menjelang halte bukan melambat malah menambah kecepatan. Ini kesimpulan dari hasil penyelidikan penyidik laka lantas," sambungnya.
J kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti lalai saat berkendara sehingga mengakibatkan kecelakaan.
Namun, karena J meninggal, Kepolisian lalu menghentikan penyidikan.
Kecelakaan yang melibatkan dua bus transjakarta itu terjadi Senin (25/10/2021) pukul 08.30 WIB.
Selain J, seorang penumpang juga tewas di lokasi. Sebanyak 31 orang lainnya luka-luka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.