TANGERANG, KOMPAS.com - Raut bahagia sekaligus bangga tergambar di wajah Raden Harris Yasin Yudhanegara saat menceritakan kisah leluhurnya. Leluhurnya yang bernama Raden Aria Wangsakara baru saja mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2021.
Raden Harris Yasin Yudhanegara alias Kang Bayu merupakan keturunan dari anak pertama Raden Aria Wangsakara, yaitu Yudhanegara.
Kang Bayu bercerita, Aria Wangsakara yang dikenal sebagai pendiri Tangerang, merupakan ahli strategi perang, diplomat ulung, dan seorang duta ulama.
Baca juga: Profil Raden Aria Wangsakara, Ulama dan Pendiri Tangerang yang Akan Jadi Pahlawan Nasional
Pada abad ke-16, Aria Wangsakara yang diperkirakan masih berusia 25 tahun pindah dari Sumedang yang sekarang merupakan wilayah Jawa Barat ke Tangerang yang kini masuk Provinsi Banten.
Bersama dengan dua adik sepunya yang bernama Raden Aria Santika dan Pangerang Surya Dewangsa, Aria Wangsakara menemui Sultan Abdul Mufakir, Sultan ke-4 Banten.
"Tiga Aria yang datang ke Banten ini minta izin ke Abdul Mufakir ini, ingin membuka kembali kerajaan baru, yang bisa membangun tatanan pemerintahan yang baru," papar Kang Bayu saat ditemui di Makam Aria Wangsakara di Lengkong, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Kamis (11/10/2021).
"Dari situ, Abdul Mufakir mempersilakan. Sehingga ditunjuklah salah satu tempatnya di Banten. Yang sekarang (bernama) Tigaraksa, Tangerang," ujar dia.
Setelah dipersilakan, Aria Wangsakara dan kedua adik sepupunya harus menjaga wilayah Tigaraksa dan sekitarnya dari jajahan Belanda.
Aria Wangsakara dibebani tugas menjaga wilayah Ciledug dan sekitarnya. Saat itu, wilayah Ciledug dan sekitarnya berbatasan dengan wilayah yang dijajah Belanda.
Raden Aria Santika ditugaskan untuk menjaga wilayah Kebon Besar dan sekitarnya dari Belanda di Batavia. Sementara, Pangeran Surya Dewangsa ditugaskan menjaga perbatasan di Tangerang dari Betawi di wilayah yang kini masuk Tangerang Selatan.
"Tiga Aria ini punya peran masing-masing," ungkap Kang Bayu.
"Bentuk perjuangan Aria Wangsakara ini ya memang ingin mengembangkan, membangun kembali tanah yang kosong untuk dijadikan pemerintahan baru," sambung dia.
Saat ditugaskan menjaga wilayah Tangerang, ketiga orang itu termasuk Aria Wangsakara harus mempertahankan wilayah tersebut dari serangan Belanda dan lainnya.
Tahun 1654, Belanda hendak merebut wilayah kekuasaan Aria Wangsakara dan dua sepupunya. Perang selama tujuh bulan tak dapat dihindarkan.
Belanda menyerang wilayah Aria Wangsakara dan lainnya dari segala lini. Peperangan itu, kata Kang Bayu, terjadi di Ciledug, Sangiang, Pasar Baru, hingga Lengkong.
"Saat itu juga Belanda membombardir dari salah satu sungai. Itu salah satu bagaimana Belanda menakut-nakuti. Itu sangat luar biasa tujuh bulan pertempuran itu," papar dia.
Menurut Kang Bayu, peperangan itu terjadi karena Belanda memiliki kepentingan, yakni menguasai wilayah Banten yang dikuasai Aria Wangsakara dan dua sepupunya.
"Belanda punya kepentingan untuk menguasai daerah ini, sementara kita punya kepentingan harus menjaga. Harus menjaga seperti apa yang diamanatkan oleh Sultan Abdul Mufakir bahwa tiga Aria ini harus bisa mengamankan dengan pasukan seadanya," urainya.
Peperangan berakhir saat Aria Wangsakara dan Belanda sepakat untuk gencatan senjata. Akhir dari peperangan tersebut ditandai dengan berdirinya sebuah tugu atau tangger yang disebut sebagai tugu perbatasan yang terletak di Gerendeng, Karawaci, Kota Tangerang.
Aria Wangsakara dikenal sebagai ahli strategi karena mampu membuat tentara-tentaranya bergerak di laut tanpa terlihat saat hendak menyerang pasukan Belanda.
Strategi itu bernama kurawacai. Kurawa berarti tentara, sedangan cai yang berarti air. Dengan demikian, kurawacai merupakan tentara air.
Baca juga: Raden Aria Wangsakara Jadi Pahlawan Nasional, Gubernur Banten: Ini Perjuangan Orang Tua Kita
"Kurawacai ini tentara air, sehingga dia harus bisa menyerang lewat sungai, tanpa memperlihatkan gerakan yang bisa dilihat oleh musuh," kata Kang Bayu.
Aria Wangsakara, melalui strateginya, juga memiliki pasukan yang dapat dengan mudah mengelabui musuh meski di tempat terang. Dia juga disebut memiliki ilmu falak.
Kang Bayu melanjutkan, Aria Wangsakara merupakan diplomat ulung sekaligus duta ulama.
Dia dipercayai pihak dari Arab untuk memberikan gelar kesultanan kepada beberapa raja di Indonesia.
"Sultan itu kan adanya di sana, di negara Jazirah Arab. Dia (Aria Wangsakara) sebagai duta ulama dan sebagai diplomat ulung, dan akhirnya bisa ada beberapa kerajaan yang diberikan gelar sultan, termasuk Sultan Banten (Abdul Mufakir)," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.