Pertama, membereskan sumber banjir di hulu sehingga volume air yang sampai ke Jakarta berkurang. Kedua, melakukan gerakan membangun sumur-sumur resapan di Jakarta.
Ketiga, memastikan aliran air tidak terhambat dengan membersihkan gorong-gorong hingga sungai. Keempat, memastikan tidak terjadi sedimentasi yang berlebihan di hilir.
Setelah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies menargetkan pembangunan 1,8 juta titik sumur resapan di Jakarta, kecuali di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu.
Namun, per Februari 2021, jumlah sumur resapan yang dibuat masih jauh dari target. Tercatat, baru 3.964 titik sumur resapan yang dibangun.
Merasa target pembangunan sumur resapan tidak terkejar, seperti biasa Wakil Gubernur Riza Patria punya alasan. Jumlah 1,8 juta titik sumur resapan adalah kebutuhan di Jakarta. Bukan target yang harus dipenuhi dalam lima tahun kepemimpinan Anies.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta harus memiliki perencanaan jangka panjang, termasuk dalam penyediaan sumur resapan.
Penyediaannya tidak bisa dilakukan dalam satu periode kepemimpinan saja. Sama seperti Kanal Banjir Timur yang tidak bisa diselesaikan dalam satu periode. Kanal Banjir Barat juga tidak mungkin diselesaikan dalam satu periode.
Konsep penanganan banjir yang ditawarkan Anies sejak dulu adalah memastikan air masuk ke dalam tanah. Bukan sekadar air sungai dialirkan ke laut melalui proyek normalisasi. Dengan pendekatan ini, secara bertahap masalah banjir di Jakarta bisa diselesaikan.
Kenyataan yang terjadi, hujan deras yang kerap mengguyur Jakarta sejak pertengahan Oktober 2021 hingga hari ini membuat banjir menjadi pemandangan sehari-hari, termasuk air “loncat” ke kanan dan ke kiri.
Sepertinya pembangunan sumur serapan juga bukan solusi yang tepat. Air sepertinya tidak pernah mau masuk ke dalam tanah.
Banjir rob masih menggenangi permukiman warga di wilayah Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara pada Selasa (9/11/2021). Ketinggian air rob di muka jalan hingga permukiman warga mencapai ketinggian 40 sentimeter. Banjir juga menutupi batas antara Dermaga Kali Adem dengan permukiman.
Selama beberapa hari, luapan Kali Ciliwung juga mengakibatkan banjir di berbagai daerah di Jakarta. Kelurahan Pejaten Timur, Jakarta Selatan, ikut terkena dampak banjir yang menggenangi wilayah tersebut sejak Minggu (7/11/2021) malam. Ada lima Rukun Warga (RW) yang dihuni setidaknya 500-an warga terdampak banjir.
Beberapa kelurahan di Jakarta Timur seperti Balekambang dan Cililitan juga terendam banjir, Senin (1/11/2021). Ketinggian air bervariasi, dari 50 hingga 250 sentimeter.
Kali Sunter juga meluap. Sekitar 15 Rukun Tetangga (RT) di Jakarta Timur terkena dampaknya. Ketinggian banjir bervariasi antara 40 hingga 55 sentimeter. Banjir paling tinggi tercatat di Cipinang Muara, mencapai 55 sentimeter.
Banjir juga merendam daerah Kembangan Selatan, Jakarta Barat, yang disebabkan luapan Kali Pesanggarahan. Air setinggi 80 sentimeter merendam belakang permukiman Jalan Haji Briti sejak hari Minggu hingga Senin, (7–8 /11/2021) (Cnnindonesia.com, 10 November 2021).
Bahkan di Kemang Utara, Jakarta Selatan, ketinggian air yang merendam kawasan itu, Jumat (12/11/2021), mencapai 1 meter. Imbasnya, lalu lintas di daerah tersebut ditutup total. Kendaraan tidak bisa melintas baik dari arah Pasar Kemang menuju Jalan Mampang Prapatan Raya dan sebaliknya (Detik.com, 12 November 2021).
Melihat persoalan klasik yang belum bisa ditangani Pemrov DKI hingga kini, tidak ada salahnya kita melihat anggaran penanggulangan banjir yang telah diposkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun 2021 sebesar Rp 1,5 triliun.
Anggaran sebesar ini diperuntukkan untuk penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan banjir, pembebasan lahan, normalisasi sungai dan saluran hingga operasional petugas lapangan (Jkt.bpk.go.id).