Anies berkeinginan Dinas Pendidikan DKI Jakarta lebih fokus kepada pembangunan mutu sumber daya manusia (SDM).
Sekali lagi yang ditekankan Anies adalah porsi yang lebih tinggi dan lebih baik untuk peningkatan mutu pendidikan. Sebaliknya, orang seringkali melihatnya semata-mata dari jumlah sekolah yang direhab.
Bagi Mantan Rektor Universitas Paramadina itu, peningkatan mutu SDM bisa dilakukan dengan membuat pelatihan-pelatihan.
Kualitas para pendidik juga harus ikut ditingkatkan. Pembangunan yang harus dilakukan di Jakarta tidak selalu bersifat fisik. Yang sering terjadi, yang didorong adalah hal-hal fisik karena inilah yang terlihat.
Setidaknya 30 gedung sekolah di Jakarta batal direhab total pada 2020. Dana rehab ke-30 gedung sekolah tersebut dicoret dari Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 karena angggaran sempat defisit (Kompas.com, 18 November 2021).
Menilik kebijakan alokasi anggaran rehabilitasi sekolah di tengah anggaran Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang cukup besar, tidak salah dan tidak perlu malu jika beleid Anies harus direvisi meski masa jabatan Anies kian mendekati akhir.
Kejadian ambruknya SMAN 96 menunjukkan kualitas pembangunan yang dilakukan secara sembrono tanpa fungsi pengawasan.
Sedikitnya porsi dari Dinas Pendidikan untuk anggaran rehabilitasi memang harus ditingkatkan dengan melihat komposisi sekolah mana yang memang perlu direhabilitasi dan mana yang masih layak.
Kekhawatiran Gubernur Anies yang tidak ingin gedung sekolah yang kondisinya masih layak mendapat program rehabilitasi sebetulnya cukup mudah dilakukan jika jenjang cek, re-cek, cross-cek serta triple-cek berjalan baik.
Buat apa gubernur punya Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) jika kehadirannya hanya untuk menampung tim sukses ketimbang berfungsi nyata membantu tugas dan pekerjaan gubernur?
Proposal usulan rehabilitasi sekolah tentu saja tidak semua harus dipenuhi. Ada pertimbangan anggaran yang terbatas. Pembangunan bisa diprioritaskan pada gedung sekolah yang benar-benar butuh rehabilitasi segera.
Kerap saya membandingkan mengolah APBD mirip dengan mengurus finansial keluarga dalam skala komparasi yang terkecil.
Skala prioritas menjadi pegangan utama dan tentu diselaraskan dalam visi misi yang diusung keluarga.
Jika keluarga kecil ingin memiliki rumah sederhana dengan skema Kredit Pemilikan Rumah tentu durasi angsuran harus disesuaikan dengan kemampuan alokasi dana bulanan dengan mempertimbangkan pengeluaran rutin untuk biaya kehidupan bulanan, biaya sekolah dan kuliah anak-anak, menabung serta dana antisipasi untuk kesehatan dan pengeluaran tidak terduga.
Tidak boleh kita lupakan, harus kita sisihkan rutin 2,5 persen dari pendapatan untuk sedekah.
Mengolah APBD untuk pembangunan bagi perbaikan dan kesejahteraan warga suatu provinsi memang tidak bisa memuaskan semua kalangan. Harus ada skala prioritas.
Di masa pandemi, fokus peruntukkan anggaran harus ditujukan untuk kegiatan yang bisa mengungkit ekonomi masyarakat bawah yang sangat terdampak wabah.
Jika gelaran lomba balap mobil formula listrik hanya membuat utang dan beban bagi gubernur berikutnya, mengapa juga harus ngotot diteruskan? Sementara, urusan rehabilitasi gedung sekolah tempat penyemaian generasi penerus bangsa malah diabaikan.
Ketika diminta memimpin tim transisi dan sinkronisasi gubernur dan wakil gubernur baru usai memenangkan Pilkada 2020 di sebuah provinsi, saya harus merombak APBD yang telanjur disusun oleh petahana yang kalah dalam kontestasi.