"P2TP2A juga sudah lakukan penjangkauan membantu asesmen korban, konsultasi hukum, pendampingan visum, pendampingan BAP di kepolisian, hingga pemeriksaan psikologis," ungkap Tri.
Untuk rencana tindak lanjut, pihaknya juga memberikan konsultasi hukum lanjutan hingga pemeriksaan psikologis lanjutan.
Baca juga: Tangis Keluarga Pecah Saat Jenazah Anak yang Terbawa Arus di Kali Pesanggrahan Tiba di Rumah
"Pendampingan hukum lanjutan untuk memastikan hukum pemenuhan hak korban, sedangkan pendampingan psikologis lanjutan untuk memastikan kesiapan secara psikologis korban," kata dia.
Di sisi lain, mengingat pelaku pencabulan yang juga masih di bawah umur, penegakan hukum dilakukan sesuai Undang-undang Perlindungan Anak.
Ia menyebutkan, sejumlah sanksi tambahan tidak diberlakukan.
"Sesuai dengan UU Perlindungan Anak Pasal 82, maka pemberian sanksi tambahan sebanyak sepertiganya itu tidak berlaku. Tidak berlaku juga pemberian hukum kebiri kimia, hukuman seumur hidup, dan pidana mati juga tidak berlaku untuk pelaku anak," kata dia.
Polisi menyangkakan pelaku dengan UU Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 Pasal 82 ayat 1 junto 76E dengan hukuman maksimal 15 tahun atau denda Rp 5 Miliyar.
Baca juga: Anak yang Hanyut di Kali Pesanggrahan Ditemukan Tewas di Meruya Jakarta Barat
Lantaran pelaku juga masih tergolong anak di bawah umur, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan proses hulum kepada A harus menerapkan restorative justice.
"Karena bicara perlindungan anak yang pelakunya adalah anak, maka di situ ada kewajiban kita untuk melakukan yang disebut dengan restorative justice," ungkap Komisioner KPAI Putu Elvina.
Terlebih, jika pelaku memiliki indikasi pernah menjadi korban kekerasan seksual serupa sebelumnya.
"Kalau ada indikasi si pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban, maka ini menjadi jalan panjang untuk pemulihan," kata Elvina.
Diberitakan Kompas.com pada Senin (1/3/2021), menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Baca juga: Kejahatan Seksual Mengintai Anak di Lingkungan Terdekat, Apa yang Harus Dilakukan Orangtua?
Lebih lanjut, Elvina menyebutkan, restorative justice memberikan keadilan yang memulihkan anak, baik itu korban maupun pelaku.
Oleh karenanya, Ia menegaskan perlunya penuntasan trauma healing bagi korban-korban kekerasan seksual.
"Anak-anak yang pernah menjadi korban saat ini kalau trauma healing-nya tidak tuntas, maka ditakutkan siklus perbuatan kekerasan seksual itu akan berputar," ungkap Elvina.
Pada kasus kekerasan seksual yang pelaku dan korbannya adalah anak-anak, lanjut dia, tujuan akhirnya lebih mengarah pada pemulihan, dibandingkan penghukuman.
"Karena mereka masih mempunyai kesempatan yang lebih panjang di masa depan, sehingga kita tidak mau pada saat pelaku kembali ke masyarakat pasca-vonis, mereka akan melakukan lagi," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.