TANGERANG, KOMPAS.com - Kantor Gubernur Banten Wahidin Halim di Serang, Banten, digeruduk para buruh pada 22 Desember 2021.
Selain menggeruduk, buruh juga menduduki ruang kerja Wahidin. Aksi penggerudukan bermula saat buruh menggelar unjuk rasa untuk menuntut revisi besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Provinsi Banten tahun 2022.
Usai digeruduk, Wahidin melalui kuasa hukumnya melapor ke polisi pada 24 Desember 2021. Enam buruh kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Desember 2021.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menganggap, ada hal lain yang patut disorot atas peristiwa itu.
Dia menilai aksi penggerudukan itu terjadi akibat jalur aspirasi antara buruh dan Wahidin tersumbat.
Baca juga: Kantor Gubernur Banten Diduduki Buruh, KSPI: Kalau Tidak Mau Digeruduk, Temui Dong!
"Jadi ketika aspirasi itu tersumbat, konsekuensi dari sebuah pola kanalisasi yang tidak sehat itu pasti akan menimbulkan aksi-aksi yang lebih militan dari kelompok yang merasa dirugikan, dalam hal ini buruh," paparnya kepada Kompas.com, Rabu (29/12/2021).
Menurut Ubeidilah, Wahidin cenderung tidak argumentatif dan menerapkan kebijakan politik satu arah saat menetapkan UMK di Provinsi Banten 2022.
Bahkan, saat UMK di Provinsi Banten 2022 ditolak buruh, Wahidin justru tidak mau mendengarkan aspirasi para buruh.
Tindakan yang ditunjukan justru resisten alias melawan aspirasi buruh.
Menurut Ubedilah, tindakan Wahidin tersebut keliru.
"Itu kan yang muncul resisten dulu tuh Gubernurnya, (Wahidin) tidak mau mendengarkan. Jadi itu sebetulnya kekeliruan strategi Gubernur Banten dalam merespons aspirasi buruh," paparnya.
Baca juga: Buruh Disebut Memiting Staf Pemprov Banten, Serikat Pekerja: Bukan Dipiting tapi Dirangkul
Sebagai informasi, menurut Serikat Pekerja Nasional (SPN) Banten, Wahidin sempat mengatakan bahwa para pengusaha dapat mencari buruh lain jika buruh tidak mau menerima upah sebesar Rp 2,5 juta.
Seharusnya, Wahidin duduk bersama dengan para buruh untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Kata dia, berdialog merupakan cara yang lebih moderen dari pada harus melaporkan para buruh itu ke kepolisian bahkan sampai ada enam buruh yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Dan itu (dilaporkan ke polisi), bahkan cara yang tidak modern ya dalam menyelesaikan perkara. Itu (dilaporkan ke polisi) cara kolonial sebenarnya. Ini negara sudah modern," papar Ubedilah.
"Cara-cara modern itu cara rasional. Cara rasional itu berdiskusi, berdialog, negosiasi, argumentasi. Itu yang penting dilakukan seorang gubernur," sambung dia.
Baca juga: Buruh Geruduk Kantor Gubernur Banten, Staf Dipiting, hingga Jarah Makanan
Keenam buruh yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Banten berinisial AP (46), SH (33), SR (22), SWP (20), OS (28), dan MHF (25).
AP, SR, SWP, dan OS merupakan warga Kabupaten Tangerang, Banten. Kemudian, SH warga Cilegon, Banten, dan MHD warga Pandeglang, Banten.
AP, SH, SR, dan SWP disangkakan melanggar Pasal 207 KUHP tentang Sengaja di Muka Umum dengan Lisan atau Tulisan Menghina Sesuatu Kekuasaan.
Di sisi lain, empat tersangka itu tidak ditahan.
Kemudian, OS dan MHF disangkakan Pasal 170 KUHP tentang Pengerusakan.
Ancaman pidana penjara OS dan MHF selama lima tahun enam bulan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.