Di sektor transportasi, misalnya, perusahaan taksi konvensional megap-megap gara-gara keberadaan aplikasi ride-sharing seperti Grab dan Gojek.
Industri perbankan yang relatif mapan pun turut terdampak keberadaan aplikasi financial technology (fintech).
Pada gilirannya, hanya yang pandai beradaptasi yang bisa bertahan. Jika tidak, siap-siap digulung zaman.
Dalam bukunya, Renald Kasali (2017) menuliskan “Kita menghadapi sebuah era baru-era disruption. Era ini membutuhkan disruptive regulation, disruptive culture, disruptive mindset, dan disruptive marketing.”
Disrupsi tidak hanya memaksa sektor privat untuk berubah, tetapi juga sektor publik.
Perusahaan sudah sejak awal beradaptasi model bisnisnya untuk memaksimalkan kemajuan teknologi. Hampir semua lini usaha memiliki mobile apps sendiri, misalnya.
Belakangan muncul juga super-app yang semakin besar menjadi unicorn, seperti Go-Jek, misalnya.
Kalau hanya berpuas diri pada layanan ride-sharing, Go-Jek mungkin tidak akan sebesar sekarang.
Tetapi setelah berevolusi menjadi super-app, Go-Jek semakin besar bahkan mengakuisisi beberapa unit bisnis lainnya.
Kembali ke JAKI, aplikasi ini merupakan cara Pemprov DKI Jakarta menghadapi disrupsi.
Tidak seperti sektor bisnis yang berada dalam persaingan amat ketat antar kompetitor, lini pemerintahan mungkin bisa lebih tenang karena tak punya pesaing.
Beragam layanan publik, seburuk apapun, tak mungkin bisa digantikan oleh swasta.
Akan tetapi, Pemprov DKI Jakarta membuktikan melampaui itu. Jakarta tidak takut terhadap disrupsi. Justru mampu bersaing dengan kota-kota global lain di dunia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.