JAKARTA, KOMPAS.com - Empat tahun lebih lepas jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama masih harus dihantui dengan kasus korupsi yang terjadi selama ia memimpin ibu kota.
Pada Kamis (6/1/2021) kemarin, pria yang akrab disapa Ahok itu kembali dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh masyarakat yang tergaung dalam Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK).
Dalam laporannya, PNPK menyampaikan ringkasan sejumlah kasus yang melibatkan Ahok selama menjabat Wakil Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta.
“Sebagian dari kasus-kasus tersebut bahkan telah diselidiki KPK di bawah pimpinan sebelumnya, namun tidak jelas kelanjutannya,” ujar Presidium PNPK Adhie M Massardi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.
Baca juga: Eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama Dilaporkan ke KPK
Adhie menyebut ada sedikitnya tujuh kasus dugaan korupsi di Jakarta yang diduga melibatkan Ahok. Dugaan korupsi tersebut yakni RS Sumber Waras, lahan di Taman BMW, lahan Cengkareng Barat, dana CSR, reklamasi teluk Jakarta, dana non-budgeter, dan penggusuran.
Berikut kilas balik sejumlah kasus yang membuat Ahok kembali dilaporkan ke KPK:
Kasus RS Sumber Waras
Kasus dugaan korupsi ini bermula saat Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) senilai Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan tahun 2014.
Pembelian lahan ini memunculkan masalah karena Pemprov DKI disebut membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan bahwa pembelian lahan itu telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.
BPK menemukan enam penyimpangan dalam pembelian lahan Sumber Waras yang terjadi dalam tahap perencanaan, penganggaran, pengadaan pembelian lahan, penentuan harga, dan penyerahan hasil.
Baca juga: Sandiaga Ajukan Pembatalan Pembelian Lahan Sumber Waras
Temuan itu pun kemudian diteruskan ke KPK. Selanjutnya, komisi antirasuah itu mulai menyelidiki kasus ini dengan memanggil para saksi. Ada puluhan saksi yang dimintai keterangan, baik dari pihak Pemprov DKI maupun pihak RS Sumber Waras.
Ahok yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta turut dimintai keterangan oleh KPK. Namun, belakangan KPK menyatakan tidak menemukan perbuatan korupsi dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras ini.
"Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, 14 Juni 2016.
Lahan Cengkareng
Kasus ini bermula pada tahun 2015, saat Pemprov DKI Jakarta membeli lahan seluas 4,6 hektar untuk pembangunan rumah susun di Cengkareng Barat dengan nilai sebesar Rp 668 miliar.
Diduga kuat telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pembelian lahan tersebut. Dugaan ini diperkuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa pembayaran dilakukan kepada seseorang yang ternyata bukan pemilik lahan.
Tanah dijual oleh perempuan bernama Toeti Noezlar Soekarno melalui notarisnya Rudi Hartono Iskandar. Belakangan diketahui bahwa tanah itu ternyata merupakan milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta.
Artinya, pemerintah DKI membeli lahan miliknya sendiri. Setelah jual beli dilakukan, Toeti dan Rudi diduga membagi-bagikan uang hasil penjualan tanah kepada pejabat Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta senilai Rp 9,6 miliar.
Baca juga: DKI Akan Tagih Kerugian Pembelian Lahan Cengkareng Barat
Kepala Dinas Perumahaan saat itu, Ika Lestari Aji, langsung melaporkan gratifikasi itu ke Ahok, lalu Ahok melaporkan ke KPK. Komisi antirasuah itu lalu melimpahkan kasus ini ke Bareskrim Polri.
Penyelidikan kasus dugaan korupsi ini kemudian mulai dilakukan Bareskrim Polri sejak 27 Juni 2016. Kasus pun bergulir, sejumlah saksi dipanggil dalam kasus itu. Termasuk Ahok yang diperiksa pada 14 Juli 2016.
Namun sampai kini belum ada tersangka dari kasus pembelian tanah seluas 4,6 hektar itu. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sempat mempraperadilankan kasus ini namun ditolak pengadilan karena belum ada surat resmi terkait Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dari penyidik.
Kasus Reklamasi
Kasus korupsi dalam proyek reklamasi di teluk Jakarta pada 2016 ini melibatkan Direktur Utama PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja dan stafnya, Trinanda Prihantoro. Keduanya selaku pihak pengembang reklamasi memberi suap kepada Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi.
Suap itu terkait pembahasan peraturan daerah tentang reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Kasus ini berbuntut panjang karena kemudian menyeret banyak nama, termasuk Ahok.
Terseretnya nama Ahok tak lepas dari keluarnya permohonan pencegahan ke luar negeri terhadap salah seorang stafnya, Sunny Tanuwidjaja. KPK yang saat itu menangani perkara ini ingin memastikan Sunny berada di Indonesia untuk memudahkan jika akan dilakukan pemeriksaan.
Baca juga: Poin-poin Utama Kesaksian Ahok dalam Sidang Kasus Suap Reklamasi
Setelah kasus ini memasuki tahap persidangan, Ahok pun sempat dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Dalam sidang itu, Ahok banyak menjelaskan seputar munculnya kontribusi tambahan 15 persen yang dikenakan kepada pengembang reklamasi.
Ahokt menyatakan bahwa tak ada pengembang reklamasi yang keberatan dengan usulan kontribusi tambahan 15 persen. Bahkan, kata dia, PT APL sudah membangun sejumlah proyek untuk Pemprov DKI.
Karena itu, Ahok merasa ditusuk dari belakang terkait fakta bahwa perusahaan itu keberatan dengan usulan kontribusi tambahan 15 persen yang ia ajukan. Acuannya sendiri, suap dari Ariesman kepada Sanusi. Suap dari Ariesman diketahui bertujuan untuk menurunkan kontribusi tambahan.
"Kalau memang benar (PT APL keberatan, berarti pengusaha kurang ajar juga. Saya ditusuk dari belakang. Di depan saya bilang OK, setuju, tapi di belakang kok main mata dengan DPRD," ujar Ahok.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.