Akibatnya, Emil harus merogoh kocek hingga Rp 50.000 ke atas dalam sehari hanya untuk memenuhi kebutuhan air.
Dia merasa hal itu sangat memberatkan, terlebih lagi dalam kondisi pandemi Covid-19 dan harga kebutuhan semuanya serba naik.
Ketua RT 005 Napsiah juga mengeluhkan biaya yang dikeluarkan semakin besar akibat krisis air di wilayahnya.
"Akhirnya beli air di gerobak dorong, bau juga. Keluar biaya dobel, akhirnya nge-laundry," kata Napsiah.
Baca juga: Keluhan Warga Kampung Baru Kubur: Tagihan Jalan Terus meski Krisis Air
Napsiah mengatakan, akibat krisis air, warga merasa seperti mengikuti undian karena ketersediaan air tidak menentu.
"Biasanya air kan selalu ada, kalau ini ada jamnya. Jamnya pun tak tentu, bahkan kadang bau," kata Napsiah.
Meskipun mengalami krisis air, warga masih terus membayar tagihan kepada Palyja selaku operator pemasok air bersih.
Ketua RT 007 Tony mengatakan, krisis air di wilayahnya itu terjadi sejak tiga bulan lalu.
Selama itu pula mereka terus membayar tagihan air meski kondisi airnya buruk.
Air lebih sering mati. Jika hidup atau mengalir pun, airnya kotor, hitam, dan berbau busuk.
Terkadang air bersih hanya bisa diambil saat subuh, sekitar pukul 04.00 atau 05.00 WIB dengan volume yang sangat sedikit.
"Saya harus menunggu lama, baru penuh itu bak. Masa harus menunggu lama, nanti mesin pompa air bisa jebol," kata Tony.
"Kami tidak pakai (air) tetap bayar. Sama saja, pakai enggak pakai tetap bayar," lanjut dia.
Baca juga: Tetap Bayar Tagihan meski Krisis Air, Warga Kampung Baru Kubur: Telat Sehari Denda Rp 35.000
Tak hanya itu, Tony menyebutkan, tagihan listriknya pun ikut membengkak karena harus terus mencoba mesin pompa air.
Setiap kali mesin dihidupkan tapi air tidak keluar, tentu tetap ada tarif listrik yang dibebankan.