JAKARTA terus bersolek. Berbagai kemajuan telah dilalui kota ini. Dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya.
Masing-masing tentu memiliki ciri dan prioritas dalam menata kota.
Hampir lima tahun di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, Jakarta juga mengalami banyak perubahan.
Secara fisik, mudah dilihat. Jalur pedestrian yang lebar dan indah, misalnya. Atau penataan sejumlah kawasan stasiun.
Sebut juga Jakarta International Stadium (JIS) yang sudah dinanti-nantikan sejak lama.
Jembatan Penyeberangan Orang dan Sepeda di Kawasan Sudirman juga salah satu yang ramai diperbincangkan. Selain taman Tebet yang baru saja direvitalisasi.
Wajah baru Jakarta tidak cuma infrastruktur keren dan bangunan megah di tengah kota. Ada juga revitalisasi Kampung Akuarium di Jakarta Utara.
Juga penataan kampung-kampung kota (urban kampong) lain lewat Community Action Plan dan Collaborative Implementation Program (CAP dan CIP).
Proyek-proyek yang saya sebut belakangan ini mungkin tidak ramai di lini masa media sosial warganet. Tapi, kebermanfaatannya tidak kalah besar.
Pemprov DKI Jakarta layak bangga karena apa yang dikerjakan saat ini sejalan dengan Agenda Baru Perkotaan atau New Urban Agenda.
NUA adalah dokumen yang dirumuskan konferensi Habitat III tahun 2016 lalu di Quito, Ekuador.
Dilandasi kekhawatiran terhadap perkembangan kota yang cepat dan tidak terkendali khususnya di negara-negara berkembang, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi Habitat I yang diselenggarakan pada 31 Mei - 11 Juni 1976 di Vancouver, Kanada.
Hasil konferensi ini disusun dalam Deklarasi Vancouver tentang permukiman, berisi 64 rekomendasi untuk aksi nasional.
Pada konferensi ini pula dibentuk United Nations Centre for Human Settlements (UNHCS) yang merupakan pusat regional UN-HABITAT.
Tepat dua puluh tahun kemudian, pertemuan diadakan kembali di Istanbul, Turki untuk melihat sejauhmana kemajuan yang dicapai dari hasil rekomendasi Habitat I.
Hasil dari konferensi ini disebut Habitat Agenda Istanbul yang diadopsi oleh 171 negara, yang berisikan lebih dari 100 komitmen dan 600 rekomendasi.
Kembali berjeda dua dekade, Habitat III digelar tahun 2016 di Quito, Ekuador. Sebanyak 140 negara yang hadir dan terlibat menyepakati New Urban Agenda untuk mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (sustainable urbanization).
Secara garis besar, NUA menawarkan pendekatan baru dalam membangun, mengelola, dan menata suatu kota.
Sesuai dengan tujuan utamanya, Cities for All, NUA berkomitmen untuk mendorong pembangunan kota dan permukiman yang lebih inklusif, non-diskriminatif, serta berkelanjutan.
Sebelum melihat implementasinya di Jakarta, mari kita bedah dulu apa saja yang terkandung dalam NUA. Ada tiga visi bersama NUA.
Pertama, kota untuk semua, dapat diartikan kota yang inklusif dan tidak memarginalkan kelompok-kelompok tertentu.
Kedua, hak dan peluang yang sama bagi semua. Setiap penduduk kota dijamin hak dan peluang yang setara untuk menikmati kebebasan yang mendasar, sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya.
Ketiga, kota dan permukiman yang berkelanjutan. Visi bersama ini mencakup kota yang mampu memenuhi fungsi-fungsi sosial, partisipatif, serta berpedoman pada prinsip-prinsip kesetaraan dan responsif terhadap gender dan usia.
Untuk menuju visi bersama tersebut, ada prinsip dan komitmen yang dipegang dalam NUA: tidak menelantarkan seorangpun (leave no one behind); ekonomi perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan; dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Visi, prinsip dan komitmen NUA dapat kita lihat diejawantahkan dalam berbagai progam di Jakarta saat ini.
Salah satunya bisa kita lihat dari Community Action Plan (CAP) dan Collaborative Implementation Program (CIP) yang digunakan dalam penataan sejumlah kampung kota.
Kampung-kampung yang selama ini dianggap sebagai area kumuh dan dilekatkan beragam stigma, justru dirangkul dan dipenuhi hak-hak asasinya.
Lewat CAP dan CIP, tercermin visi untuk tidak menelantarkan seorangpun.
CAP dan CIP juga membuktikan bahwa pendekatan pembangunan partisipatif ternyata benar-benar bisa dilakukan.
Masyarakat menjadi subyek pembangunan dan terlibat aktif sejak perencanaan. Karena sejatinya masyarakat yang lebih tahu apa yang mereka butuhkan.
Dengan pendekatan partisipatif seperti ini, dilahirkan kebijakan dan pembangunan yang tepat sasaran.
Selain itu, tidak ada lagi keseragaman. Karena tidak ada satu pun solusi yang bisa berlaku generik di semua tempat.
Wajah baru Jakarta tidak melulu soal fisik. Ada aspek lain yang tidak kalah penting, yaitu kesetaraan dan keadilan sosial.
Bentuknya mungkin tidak bisa kita lihat layaknya potret infrastruktur megah dan menawan, tapi hadir dan dirasakan di hati masyarakatnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.