Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vihara Dharma Jaya, Dulu Merah karena Peristiwa Pembantaian Kini Merah Penuh Harapan

Kompas.com - 03/02/2022, 13:23 WIB
Singgih Wiryono,
Ivany Atina Arbi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Vihara Toasebio merupakan tempat ibadah yang tak asing lagi di kalangan etnis Tionghoa kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat.

Wihara yang kini bernama Vihara Dharma Jaya itu merupakan salah satu bangunan ibadah tertua di Jakarta. Bangunannya didirikan pada tahun 1660 masehi dan kini berusia 372 tahun.

Usianya yang sangat panjang itu menjadikan bangunan tersebut sebagai saksi bisu berbagai peristiwa di sekitarnya.

Salah satunya adalah peristiwa berdarah pembantaian etnis Tionghoa di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda.

Peristiwa tersebut terekam dalam tulisan Alwi Shahab dalam buku berjudul Batavia Kota Banjir.

Baca juga: Sejarah Vihara Boen Hay Bio di Serpong yang Berusia Tiga Abad

Saat pembantaian terjadi sekitar 1740 masehi, wihara yang terletak di dekat Kali Angke tersebut seketika berubah merah karena turut dibakar oleh Belanda.

Alwi menulis, peristiwa itu tercetus saat pemerintah Belanda mengalami perburukan kondisi finansial.

 

Kawasan Petak Sembilan, tempat berdirinya Vihara Dharma Jaya, hingga kawasan Glodok di Jakarta Barat dikenal sebagai tempat lokalisasi warga keturunan Tionghoa saat Jakarta masih bernama Batavia.

Pembantaian etnis Tionghoa terjadi karena pabrik gula milik kerajaan Belanda bangkrut, anjlok dan kalah saing dengan India.

Ribuan karyawan pabrik dan perkebunan gula yang didominasi masyarakat keturunan Tionghoa akhirnya menganggur. Kemudian marak terjadi tindak kriminal akibat kondisi perekonomian tak kunjung membaik.

Baca juga: Sejarah Panjang Vihara Dharma Bakti, Tragedi Angke hingga Kebakaran 2015

Gubernur Batavia saat itu, Adriaan Valckenier, melakukan penyekatan, membatasi etnis Tionghoa yang datang ke Batavia, melakukan razia, dan mengasingkan suku Tionghoa ke Sri Lanka.

Di kalangan masyarakat etnis Tionghoa beredar kabar bahwa orang-orang yang diasingkan ke Sri Lanka tak pernah sampai ke tempat tujuan.

Mereka dibuang, dibiarkan mati tenggelam dalam perjalanan menuju Sri Lanka.

Kemudian muncul perlawanan dari etnis Tionghoa, menolak aturan pengasingan dan pengetatan yang dilakukan oleh kerajaan Belanda.

Namun, malang tak dapat ditolak. Setelah muncul gejolak perlawanan, Gubernur Adriaan mengeluarkan keputusan pada 10 Oktober 1740 untuk membantai habis etnis Tionghoa yang tersisa di Batavia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com