JAKARTA, KOMPAS.com - Vihara Toasebio merupakan tempat ibadah yang tak asing lagi di kalangan etnis Tionghoa kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat.
Wihara yang kini bernama Vihara Dharma Jaya itu merupakan salah satu bangunan ibadah tertua di Jakarta. Bangunannya didirikan pada tahun 1660 masehi dan kini berusia 372 tahun.
Usianya yang sangat panjang itu menjadikan bangunan tersebut sebagai saksi bisu berbagai peristiwa di sekitarnya.
Salah satunya adalah peristiwa berdarah pembantaian etnis Tionghoa di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda.
Peristiwa tersebut terekam dalam tulisan Alwi Shahab dalam buku berjudul Batavia Kota Banjir.
Baca juga: Sejarah Vihara Boen Hay Bio di Serpong yang Berusia Tiga Abad
Saat pembantaian terjadi sekitar 1740 masehi, wihara yang terletak di dekat Kali Angke tersebut seketika berubah merah karena turut dibakar oleh Belanda.
Alwi menulis, peristiwa itu tercetus saat pemerintah Belanda mengalami perburukan kondisi finansial.
Kawasan Petak Sembilan, tempat berdirinya Vihara Dharma Jaya, hingga kawasan Glodok di Jakarta Barat dikenal sebagai tempat lokalisasi warga keturunan Tionghoa saat Jakarta masih bernama Batavia.
Pembantaian etnis Tionghoa terjadi karena pabrik gula milik kerajaan Belanda bangkrut, anjlok dan kalah saing dengan India.
Ribuan karyawan pabrik dan perkebunan gula yang didominasi masyarakat keturunan Tionghoa akhirnya menganggur. Kemudian marak terjadi tindak kriminal akibat kondisi perekonomian tak kunjung membaik.
Baca juga: Sejarah Panjang Vihara Dharma Bakti, Tragedi Angke hingga Kebakaran 2015
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.