Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Napi Lapas Cipinang Mengaku Harus Sewa Kardus sebagai Alas Tidur, Kemenkumham: Tak Ada Pungutan Apa Pun

Kompas.com - 04/02/2022, 15:02 WIB
Nirmala Maulana Achmad,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) DKI Jakarta Ibnu Chuldun membantah pengakuan seorang narapidana yang mengungkap adanya praktik jual beli kamar di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur.

Sebelumnya, WC, seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP) Lapas Kelas I Cipinang, mengatakan bahwa ia dan sesama narapidana harus membayar uang Rp 30.000 per minggu agar dapat tidur beralaskan kardus.

"Tidak ada pungutan biaya apa pun untuk alas tidur," kata Ibnu, Jumat (4/2/2022).

Baca juga: Narapidana Lapas Cipinang Mengaku Diminta Rp 30.000 Per Minggu agar Bisa Tidur Beralaskan Kardus

Ibnu menyatakan bahwa informasi praktik jual beli kamar di Lapas Cipinang sangat tidak benar.

"Karena tidak ada lagi warga binaan tidur beralas kardus. Semua WBP tidur menggunakan matras," ujar Ibnu.

Kepala Lapas Kelas I Cipinang Tony Nainggolan juga membantah soal informasi praktik jual beli kamar itu.

Baca juga: Narapidana Ungkap Praktik Jual Beli Kamar di Lapas Cipinang, Kalapas Membantah

"Baru kemarin saya membuka program admisi orientasi (pengenalan lingkungan) dan saya sampaikan kalau di Lapas Cipinang tidak ada urusan yang berbayar termasuk masalah tidur," kata Tony kepada wartawan, Kamis (3/2/2022).

Tony mengatakan, para narapidana di Lapas Cipinang tidak perlu mengeluarkan uang untuk dapat menikmati fasilitas tambahan.

Namun, ia tidak menampik bahwa Lapas Kelas I Cipinang memang overload untuk saat ini.

Baca juga: Ungkap Jual Beli Kamar di Lapas Cipinang, Napi: Termahal Rp 25 Juta

"Isi hari ini 3.206 orang untuk kapasitas 880 orang. Kalau itu (praktik jual beli kamar) benar dilakukan pegawai atau narapidana, saya akan ambil tindakan tegas," ujar Tony.

Pengakuan salah satu napi

WC mengatakan, ia dan sesama warga binaan di lapas tersebut harus membayar Rp 30.000 per minggu agar dapat tidur beralaskan kardus.

"Besarnya tergantung tempat tidur yang dibeli. Kalau tidur di lorong dekat pot dengan alas kardus, itu Rp 30.000 per satu minggu. Istilahnya beli tempat," kata WC kepada wartawan, Kamis kemarin.

Kata WC, ada pula narapidana yang harus mengeluarkan uang lebih besar agar mendapatkan tempat tidur yang lebih bagus.

"Nanti duitnya diserahkan dari ke sipir, di sini seperti itu. Kalau untuk tidur di kamar lebih mahal, antara Rp 5 hingga 25 juta per bulan. Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar," ujar WC.

Menurut WC, kasus jual beli kamar di Lapas Cipinang sudah sejak lama terjadi dan menjadi pemasukan sampingan oknum petugas di lapas itu.

"Mau enggak mau, kami harus bayar buat tidur. Minta duit ke keluarga di luar untuk dikirim ke sini. Kalau enggak punya duit ya susah. Makanya yang makmur di sini napi bandar narkoba," tutur WC.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Disorot, Dinas Citata: Itu Masih Perencanaan

Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Disorot, Dinas Citata: Itu Masih Perencanaan

Megapolitan
Gerak Gerik NYP Sebelum Bunuh Wanita di Pulau Pari: Sempat Menyapa Warga

Gerak Gerik NYP Sebelum Bunuh Wanita di Pulau Pari: Sempat Menyapa Warga

Megapolitan
Tunggak Biaya Sewa, Warga Rusunawa Muara Baru Mengaku Dipersulit Urus Administrasi Akte Kelahiran

Tunggak Biaya Sewa, Warga Rusunawa Muara Baru Mengaku Dipersulit Urus Administrasi Akte Kelahiran

Megapolitan
Pedagang Bawang Pasar Senen Curhat: Harga Naik, Pembeli Sepi

Pedagang Bawang Pasar Senen Curhat: Harga Naik, Pembeli Sepi

Megapolitan
Baru Beraksi 2 Bulan, Maling di Tambora Curi 37 Motor

Baru Beraksi 2 Bulan, Maling di Tambora Curi 37 Motor

Megapolitan
'Otak' Sindikat Maling Motor di Tambora Ternyata Residivis

"Otak" Sindikat Maling Motor di Tambora Ternyata Residivis

Megapolitan
Perempuan yang Ditemukan di Pulau Pari Dicekik dan Dijerat Tali Sepatu hingga Tewas oleh Pelaku

Perempuan yang Ditemukan di Pulau Pari Dicekik dan Dijerat Tali Sepatu hingga Tewas oleh Pelaku

Megapolitan
PDI-P Mulai Jaring Nama Cagub DKI, Ada Ahok, Basuki Hadimuljono hingga Andika Perkasa

PDI-P Mulai Jaring Nama Cagub DKI, Ada Ahok, Basuki Hadimuljono hingga Andika Perkasa

Megapolitan
KTP 8,3 Juta Warga Jakarta Bakal Diganti Bertahap Saat Status DKJ Berlaku

KTP 8,3 Juta Warga Jakarta Bakal Diganti Bertahap Saat Status DKJ Berlaku

Megapolitan
Jasad Perempuan Dalam Koper di Bekasi Alami Luka di Kepala, Hidung dan Bibir

Jasad Perempuan Dalam Koper di Bekasi Alami Luka di Kepala, Hidung dan Bibir

Megapolitan
Dukcapil DKI: Penonaktifan NIK Warga Jakarta Bisa Tekan Angka Golput di Pilkada

Dukcapil DKI: Penonaktifan NIK Warga Jakarta Bisa Tekan Angka Golput di Pilkada

Megapolitan
Polisi: Mayat Dalam Koper di Cikarang Bekasi Seorang Perempuan Paruh Baya Asal Bandung

Polisi: Mayat Dalam Koper di Cikarang Bekasi Seorang Perempuan Paruh Baya Asal Bandung

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Pulau Pari Curi Ponsel Korban dan Langsung Kabur ke Sumbar

Pembunuh Wanita di Pulau Pari Curi Ponsel Korban dan Langsung Kabur ke Sumbar

Megapolitan
Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Megapolitan
Warga Duga Ada Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru Seharga Rp 50 Juta oleh Oknum Pengelola

Warga Duga Ada Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru Seharga Rp 50 Juta oleh Oknum Pengelola

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com