TIDAK lagi menjadi ibu kota, akan seperti apa Jakarta? Pertanyaan ini banyak terlontar dari masyarakat, menyusul rencana pemindahan ibu kota.
Masalahnya, sejauh ini yang banyak dibicarakan hanya soal Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria menyatakan Pemprov DKI Jakarta diberi waktu kurang dari dua bulan oleh Kementerian Dalam Negeri untuk menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekhususan Jakarta.
Penugasan ini layak dimaknai sebagai peluang bagi Jakarta untuk merancang masa depan.
Seperti termaktub dalam naskah akademis RUU IKN, Jakarta memiliki banyak persoalan. Mulai dari kemacetan Jakarta dan daerah sekitar, keterbatasan suplai air baku, penurunan muka tanah, dan potensi ancaman gempa.
Penyusunan UU baru untuk Jakarta bisa dilihat sebagai kesempatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, sekaligus menghadapi tantangan persaingan global.
Pemerintah -dan DPR—tampaknya masih akan tetap memberikan desentralisasi asimetris bagi Jakarta. Artinya, Jakarta tetap akan menjadi provinsi yang memiliki kekhususan.
Konstitusi kita memang memungkinkan adanya asimetrisme. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Sayang sekali kalau muatan UU kekhususan nanti hanya salin tempel dari UU Nomor 29 Tahun 2007 yang berlaku sampai sekarang.
Sudah jelas kekhususan Jakarta saat ini tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan laten yang terus menumpuk.
Memangnya apa saja sih kekhususan Jakarta saat ini? Satu yang paling khas adalah otonomi tunggal di tingkat provinsi.
Kota dan kabupaten di Jakarta hanya bersifat administratif, bukan daerah otonom.
Maka dari itu tidak ada pemilihan wali kota atau bupati di Jakarta. Wali kota dan bupati di Jakarta adalah kepala perangkat daerah, seperti halnya kepala dinas.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditunjuk dan diangkat oleh gubernur, sudah barang tentu wali kota dan bupati akan tunduk pada garis kebijakan provinsi.
Perbedaan berikutnya adalah pemilihan gubernur menggunakan sistem absolut majority di mana pemenang sedikitnya mendapatkan 50 persen suara.