Menurut Elisa, sampai saat ini belum ada insentif yang diberikan negara untuk rumah di gang. Padahal, banyak warga pemilik lahan di gang yang berupaya membantu negara dalam menyediakan hunian layak.
Elisa mencontohkan rumah-rumah petak ataupun kontrakan yang dibangun di kampung-kampung kota di sekitar pusat bisnis.
Terlepas dari ada tidaknya pelanggaran terkait peruntukan bangunan, Elisa menilai warga yang berupaya menyediakan hunian untuk orang lain sudah selayaknya mendapat insentif dari negara.
Baca juga: Meski Rumah di Gang Sempit, Ayu Ting Ting Tetap Bahagia dan Rezeki Lancar
"Tapi hingga hari ini tidak ada insentif atau kemudahan bagi perorangan pemilik lahan luas yang menggunakan lahannya menjadi rumah layak bagi banyak keluarga," kata Elisa kepada Kompas.com, Jumat (17/2/2022).
Dua sisi Jakarta:
Kampung kota dengan pemukiman padat penduduk yang penuh kehidupan
vs
Pusat bisnis kota dengan jalan lebar berisi mobil yang mati aktivitas karena gedungnya mengisolasi diri dari trotoar jalan pic.twitter.com/FBx1vrFFmb
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) November 21, 2021
Alih-alih memberikan insentif, Elisa menilai aturan perbankan justru diskriminatif terhadap orang yang mengajukan kredit perumahan pada ukuran jalan tertentu.
Ketiadaan insentif inilah yang membuat kampung kota jadi sulit berkembang.
"Negara harus mau bermitra dengan rakyatnya sendiri, termasuk memberikan insentif serupa seperti yang dinikmati developer. Jika bank swasta tidak bisa kasih kredit, ya minimal BUMN atau BUMD harus bisa karena mereka diberikan misi juga oleh negara," ucap Elisa.
Baca juga: Milenial Cenderung Cari Rumah Dekat Pusat Kota
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), generasi milenial adalah mereka yang kini sedang berada dalam usia produktif. Karena dalam usia produktif, lokasi tempat tinggal tentu menjadi sangat penting.
Tempat tinggal yang terlalu jauh dari tempat kerja bukan hanya membuat lelah, penghasilan bulanan pun bisa habis hanya untuk biaya transportasi.
Kondisi itulah yang sempat disinggung mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Saat menjadi pembicara dalam acara Indonesia Development and Business Summit 2019, Kalla mengatakan, selama ini ada suatu kondisi di Jabodetabek yang berbanding terbalik dengan di luar negeri.
Menurut Kalla, di luar negeri, orang kaya lebih memilih tinggal di pinggir kota dan daerah pusat kota biasanya dihuni oleh orang-orang tidak mampu.
Pengertian tidak mampu di sini tentu saja masih relevan dengan milenial pekerja yang tidak sanggup membeli rumah di perumahan ataupun apartemen mewah di pusat kota Jakarta.
"Kalau kita sebaliknya. Orang kaya tinggal di kota, orang yang tidak mampu di pinggir kota," kata Kalla di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Kalla menilai, banyaknya orang tidak mampu yang tinggal di pinggir kota inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pasalnya, mereka harus mengeluarkan biaya transportasi yang lebih mahal setiap harinya.
Baca juga: Benarkah Milenial Tak Bisa Beli Rumah? Ini Cerita Pengembang
Hunian merupakan kebutuhan paling mendasar setiap manusia selain pangan dan pandang. Sudah sepatutnya negara hadir dan menyediakan hunian yang layak untuk setiap warga negara.
"Cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil apabila kita sungguh-sungguh mau dengan penuh kepercayaan, semua pasti bisa," ucap proklamator Mohammad Hatta saat Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung pada 1950.
Ucapan Hatta itu menegaskan bahwa semua orang berhak mendapatkan hunian layak apabila ada itikad baik dari semua pihak.
Dalam konteks Jabodetabek masa kini, hunian layak juga bisa dikaitkan dengan kemudahan akses dan tentu saja lokasi yang tidak jauh dari tempat kerja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.