Halim menuturkan, Tasawuf sebagai jalan hidup artinya mendekatkan diri pada Allah dengan membersihkan hati.
Ketika seseorang “dekat” dengan Allah, maka hal itu akan berpengaruh juga untuk sekitarnya, terutama keluarga.
Ia mengajari para santrinya menunaikan salat secara khusyuk, penuh penyerahan dan kebulatan hati.
“Anak-anak ini punya segudang penderitaan yang bisa diadukan ketika salat, saya ajarkan bagaimana salat secara khusuk. Kita berbisik pada Tuhan yang sama,” ucap Halim.
Kali lain dia menerangkan makna sujud dalam salat menurut pendekatan tasawuf, bahwa manusia berasal dari tanah, dihidupkan, dan kembali ke tanah.
“Jadi mereka bisa merasakan sensasi salat secara batin,” sambungnya.
Dalam buku terjemahan Sirrul-Asrar: Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (Salima Publika, 2013), mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menulis, Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Ia mengutip pandangan Zakaria Al-Anshari yang menyebut Tasawuf sebagai ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.
Menurut Nasaruddin, Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf merupakan ilmu personal, sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya.
“Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya,” tulis Nasaruddin.
Selain pembinaan spiritual, para santri juga dibekali peta untuk kembali kepada keluarga. Dalam hal ini, Halim berupaya membangun kepercayaan diri tiap santri, dari sisi ekonomi dan pendidikan.
Halim mendorong semua santrinya berdaya secara ekonomi agar bisa lebih mandiri ketika kembali ke keluarga.
Ia mengajari para santrinya berwirausaha. Mereka memulai usaha kedai kopi, diberikan pelatihan menjadi barista, membuka usaha laundry hingga tempat cuci kendaraan bermotor.
Ada pula santri yang pernah menjadi seniman tato, kini mengasah keterampilannya di bidang desain grafis dan interior.
“Kita buka program belajar paket A, B, C. Sekarang sudah ada anak yang kuliah, ambil (Fakultas) Hukum, jadi advokat bagi kawan-kawannya di jalanan,” ucap Halim sambil tersenyum bangga.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 22.00. Tak terasa lebih dari dua jam kami berbicara. Kopi sudah tandas, tinggal tersisa ampas di dasar gelas. Saya mesti beranjak meski obrolan kian hangat.
Buku catatan dan alat perekam saya rapikan sebelum berpamitan. Kemudian, Ustaz Halim memberikan buku karya Syekh Abdur Qadir Al-Jailani yang pernah ia terbitkan. Kami pun berjabat tangan dan saling mengucapkan terima kasih.
Malam berkelindan dengan aroma tanah yang basah setelah hujan. Perjalanan pulang terasa begitu menenangkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.