JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Kampung Apung Kapuk Teko mungkin terdengar asing bagi sebagian orang.
Perkampungan ini bukan nama tempat wisata baru yang menyuguhkan wahana rekreasi keluarga, melainkan bukti nyata kegigihan manusia menghadapi bencana.
Kampung ini terletak di RT 010 RW 001, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Bersembunyi di balik gang-gang kecil, kampung ini berada tidak jauh dari Jalan Kapuk Raya.
Baca juga: Kisah Kampung Apung yang Dahulu Rimbun Penuh Pohon, Kebun, dan Empang...
Memasuki jalur yang hanya bisa dilintasi sepeda motor dan pejalan kaki, gang tersebut awalnya terlihat seperti gang pada umumnya.
Namun, ketika berjalan beberapa puluh meter saja dari Jalan Raya Kapuk, langkah kaki akan mulai menapaki sebuah jembatan panjang yang terbuka nan sempit.
Sebuah permukiman warga terlihat menyambut di ujung jembatan. Di sisi kanan dan kiri pada jembatan tanpa pembatas tersebut, hanya terlihat hamparan air.
Baca juga: Kisah di Balik Nama Kampung Apung, Berawal dari Kekompakan Warga Hadapi Musibah...
Rumah-rumah yang berdiri di atasnya pun seperti rumah yang mengapung di atas sebuah danau yang dalam.
Dengan gemerlap lampu-lampu bohlam yang bertengger di rumah, kampung apung ini terlihat indah di malam hari.
Di balik itu semua, Kampung Kapuk Teko menyimpan misterinya sendiri. Faktanya, rumah di kampung tersebut tidak mengapung di atas air danau, rumah-rumah itu justru berdiri di atas bangunan rumah yang sudah terendam banjir puluhan tahun.
Baca juga: Mengenang Masa-masa Kejayaan Budidaya Ikan Lele di Kampung Apung
Rudi Suwandi (52) Ketua RT 010/001 menceritakan bahwa Kampung Kapuk Teko sudah terendam secara bertahap pada 1996.
"Awalnya kita mulai terendam banjir selama 6 bulan. Kalau hujan banjir, awalnya 40-50 sentimeter. Lalu, 1999 itu sudah banjir permanen, artinya sepanjang tahun enggak kering-kering. Nah, sekarang banjir di Kampung Kapuk Teko sudah 2,4 meter," kata Rudi, yang sudah turun menurun tinggal di sana.
Rudi mengatakan, ketinggian banjir kini sudah menenggelamkan permukiman hingga ke atap rumah.
Baca juga: Harapan Warga Kampung Apung kepada Siapa Pun Presiden yang Terpilih...
Akibat bencana yang tidak diketahui penyebabnya itu, warga pun terus berupaya menyelamatkan tempat tinggalnya.
"Dulu banyak rumah yang enggak punya lantai 2. Pas air naik, akhirnya satu rumah itu habis. Akhirnya direnovasilah, dan atapnya itu dijadikan dasar rumah baru, bangun lagi ke atas. Ada yang menguruk tanah kalau mampu. Kalau enggak mampu, ya dibikin panggung dengan kayu," jelas Rudi.
"Jadi rumah yang sekarang itu sudah berada di atap rumah atau di lantai duanya. Di bawah kita ini rumah jaman dulu," lanjut Rudi.