Budhi Kurniawan. Ia tak hanya seorang jurnalis, namun juga aktivis. Keberpihakannya pada kaum papa sudah terasah sejak masih duduk di bangku SMA.
Di usia yang masih terbilang belia, ia sudah bergabung dengan Pusat Informasi Jaringan Aksi untuk Reformasi (PIJAR), sebuah organisasi yang aktif mengkritik rezim Orde Baru dan menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Perkenalannya dengan Sri Bintang Pamungkas membuat Budhi Kurniawan semakin matang dalam kerja-kerja perlawanan.
Tak hanya rajin diskusi, Budhi juga aktif terlibat aksi-aksi demonstrasi menentang dan melawan rezim tirani.
Budhi juga mengaku pernah bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia atau PII. Sebuah organisasi para pelajar yang tak hanya bicara pendidikan, namun juga aktif dalam isu-isu kebangsaan.
Keberpihakannya pada kemanusiaan terus tumbuh hingga ia menjadi wartawan. Saat menjadi jurnalis di Kantor Berita Radio 68H [KBR68H], Budhi rajin menulis dan memberitakan berbagai ketidakadilan yang dialami kelompok minoritas dan mereka yang terpinggirkan.
Pada tahun 2012, Budhi pernah menginsiasi dan menjadi koordinator gerakan Aksi Pengumpulan 1000 Sandal.
Ini adalah bentuk sindiran dan kritik kepada Polri karena memproses seorang anak yang dituduh mencuri sandal milik anggota Brimob Polda Sulteng, Briptu Anwar Rusdi Harahap.
Sehingga anak berinisial AAL yang dituduh mencuri sandal polisi ini diancam hukuman maksimal lima tahun penjara jika terbukti.
Dia sempat mengambil jeda dari profesi pewarta dan memilih bergabung di sebuah organisasi nirlaba guna mendampingi anak-anak yang ‘kehilangan’ orangtua.
Namun, itu tak bertahan lama. Semangatnya sebagai ‘mesiah’ kembali membawanya ke dunia media massa. Dan ia memilih KompasTV sebagai pelabuhan terakhirnya, hingga akhir hayatnya.
Budhi Kurniawan juga dikenal sebagai tokoh dan pejuang keberagaman. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman [Sejuk] adalah organisasi yang dia dirikan bersama sejumlah kawan.
Melalui organisasi ini, Budhi menebar semangat toleransi. Juga penghormatan atas keberagaman dan membela mereka yang dinista atas nama agama.
Semangatnya untuk terus belajar tak pernah pudar. Meski waktunya nyaris habis untuk mengurus pekerjaan dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia [IJTI] organisasi jurnalis yang baru ia geluti, Budhi memutuskan sekolah lagi.
Ia mengambil program pascasarjana di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Karenanya, dia harus rela tak bisa liburan di akhir pekan.