Pasal 273 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau
huru-hara.
Artinya, pasal tersebut menyiratkan bahwa masyarakat memerlukan izin dalam
melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana.
Hal ini dinilai bertolak belakang dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang hanya mewajibkan
pemberitahuan atas kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.
"Tak hanya itu, Pasal 273 RKUHP pun memuat unsur karet tanpa batasan konkret, yakni “kepentingan umum”, yang rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum," kata Melki.
Baca juga: Draf Terbaru RKUHP Belum Dibuka, Pemerintah dan DPR Dinilai Otoriter
Sementara itu, Pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda
bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga
negara melalui sarana teknologi informasi.
Selain mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara yang seharusnya dapat dikritik oleh masyarakat, keberadaan Pasal 354 RKUHP sejatinya dinilai akan menimbulkan permasalahan yang signifikan mengingat pasal itu bukan merupakan delik aduan.
"Dengan demikian, siapa pun dapat melaporkan seseorang atas penghinaan terhadap
kekuasaan umum atau lembaga negara yang beredar di ranah elektronik, di mana hal ini dapat
mencederai iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia," kata Melki.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Diminta Buka Partisipasi Publik, Jangan Buru-Buru Sahkan RKUHP
Dalam tuntutannya pada aksi nanti, BEM UI pun akan mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna;
BEM UI juga akan menuntut Presiden dan DPR RI untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan
berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial;
serta
"Apabila Presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan
menyatakan akan membahas pasal-pasal bermasalah di luar isu krusial dalam kurun
waktu 7 x 24 jam, kami siap bertumpah ruah ke jalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar dibandingkan tahun 2019," kata Melki.