JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah ibu menyampaikan pendapatnya terhadap Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) berkait regulasi yang mengizinkan cuti melahirkan selama enam bulan.
Wacana cuti melahirkan selama enam bulan membuat segelintir masyarakat yang khawatir. Sebab, jika aturan ini diteken, maka dikhawatirkan akan ada banyak perusahaan yang enggan merekrut karyawati ke depannya.
"Saya kurang setuju wacana itu. Karena saya meyakini bakal membuat banyak perusahaan yang segan mengangkat karyawan perempuan. Padahal, sekarang saja cari kerja untuk perempuan sudah susah," ungkap Tuzzahra (29), ibu satu anak yang bekerja di Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022).
Baca juga: Sambut Baik Usul Cuti Melahirkan 6 Bulan, Ibu Hamil: Jadi Tidak Stres Dikejar-kejar Pekerjaan...
Bukannya tidak setuju dengan pelonggaran jatah cuti melahirkan, namun Tuzzahra berharap pemerintah juga memikirkan aturan lainnya yang melindungi para pekerja wanita ke depannya dengan membuat aturan yang juga menguntungkan perusahaan.
Hal serupa juga dikhawatirkan Prana (29), karyawati perusahaan swasta yang baru melahirkan satu bulan lalu. Prana bercerita pengalaman tentang buruknya stigma masyarakat akan karyawati baru yang tengah hamil.
"Di kantor saya yang lama, dulu ada anak baru. Dia baru sebulan masuk, tapi baru tahu kalau lagi hamil tiga bulan. Setelah ketahuan karyawan lain, dia habis dijulidin ibu-ibu di kantor. Padahal orang tersebut mengaku tidak tahu kalau sedang hamil saat proses rekrutmen pekerjaan. Kan kasihan," kenang Prana.
Baca juga: Dukung Cuti Melahirkan 6 Bulan, Pemkot Tangsel: Selama Itu Terbaik, Kami Siap Fasilitasi
Prana khawatir, di saat cuti melahirkan tiga bulan saja sudah tidak mudah diterima oleh warga perusahaan, bagaimana jika cuti tersebut jadi diperpanjang.
Selain itu, alih-alih cuti melahirkan selama enam bulan, Prana mengusulkan agar pemerintah juga menengok pentingnya jatah cuti bagi ayah yang menemani ibu.
"Alangkah baiknya, ada aturan yang memanjangkan cuti bagi ayah. Biar mereka ikut ngurusin anak dan jagain istri, khususnya sebelum masa melahirkan," ungkap Prana.
Di sisi lain, dukungan atas cuti melahirkan yang diperpanjang terus mengalir. Riza Nurginaya (28) seorang Ibu rumah tangga dengan dua anak di Tangerang Selatan, mengaku setuju dengan banyaknya jatah cuti bagi ibu melahirkan.
Menurut Riza, ada banyak alasan ibu yang baru melahirkan membutuhkan lebih banyak waktu, baik itu untuk sang bayi maupun ibu itu sendiri.
"Untuk kesehatan bayi, sebab bayi membutuhkan air susu ibu (ASI). Tapi faktanya tidak semua ibu bisa memberikan ASI eksklusif. Tidak semua ibu bisa pumping (memompa ASI) banyak. Selain itu, tidak semua bayi mau dikasih dot," kata Riza.
Selain untuk bayi, menurut Riza, ibu yang baru melahirkan membutuhkan banyak waktu untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun mental.
"Kalau ibu melahirkan secara sesar, biasanya butuh lebih banyak waktu untuk memulihkan jahitannya," kata Riza yang aktif di sebuah kelurahan di Tangerang Selatan.
"Selain itu untuk kesehatan mental juga. Biasanya ibu-ibu kalau habis lahiran itu emosinya tidak stabil, bahkan sampai ada yang baby blues. Bayangkan kalau cutinya cuma dua bulan, masih sakit jahitan, badan masih capek begadang urus bayi rewel tapi sudah disusuruh kerja lagi," ungkap dia.
Dukungan lainnya juga datang dari Rully (28), ibu dengan satu anak yang juga bekerja sebagai seorang guru di Jakarta Selatan.
"Berdasarkan pengalaman, kalau orang sudah hamil besar itu biasanya sebulan sebelum lahiran sudah ambil cuti, karena bisa aaja ada pembengkakan di kaki atau masalah kehamilan lainnya. Keadaan ini menyebabkan jatah cuci sisa dua bulan masa recovery," ungkap Rully.
"Jangankan yang sesar, yang lahirna normal pun tidak semuanya penyembuhannya cepat, butuh waktu recovery yang lumayan juga," kata dia.
Selain itu, dia juga beranggapan bahwa waktu cuti yang lebih panjang akan sangat bermanfaat bagi bayi.
"Dan waktu yang banyak ini mendukung juga untuk kesehatan bayi dan ibu supaya bisa fokus ASI eksklusif selama enam bulan sebelum MPASI," ungkap Rully.
Usulan RUU KIA
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI setuju Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) akan dibahas lebih lanjut untuk menjadi undang-undang.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan, melalui RUU KIA, akan diatur bahwa cuti melahirkan paling sedikit enam bulan.
"RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan," kata Puan dalam keterangannya, Selasa (14/6/2022).
Baca juga: Pengusul RUU KIA Ungkap Pentingnya Cuti 6 Bulan bagi Ibu yang Baru Melahirkan
Penetapan masa cuti melahirkan sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Durasi waktu cuti melahirkan hanya 3 bulan. Sementara itu, dalam RUU KIA, cuti hamil berubah menjadi 6 bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran.
RUU KIA mengatur penetapan upah bagi ibu yang sedang cuti melahirkan yaitu untuk 3 bulan pertama masa cuti, ibu bekerja mendapat gaji penuh.
Kemudian, di bulan keempat upah mulai dibayarkan 70 persen.
Menurut Puan, pengaturan ulang masa cuti hamil ini penting untuk menjamin tumbuh kembang anak dan pemulihan bagi ibu setelah melahirkan.
“DPR akan terus melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan berkenaan dengan hal tersebut. Kami berharap komitmen pemerintah mendukung aturan ini demi masa depan generasi penerus bangsa,” tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.