“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya” (Bung Karno).
TIDAK salah jika Bapak Bangsa kita selalu mengiangkan kalimat ini untuk kalangan muda agar tidak melupakan jati diri bangsanya.
Bung Karno begitu visioner sehingga relevansi makna kalimat ini selalu bisa kita pertanyakan terus di setiap babakan perjalanan sejarah bangsa ini.
Membaca pemberitaan Kompas.com tanggal 7 Juli 2022 kemarin, begitu miris melihat “penghargaan” generasi sekarang terhadap Situs Cagar Budaya Candi Bojongemas di Kampus Bojongemas, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Generasi sekarang begitu abai dan pemerintah daerahnya begitu “cuek”.
Betapa tidak, candi yang berlokasi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum dibiarkan teronggok begitu saja tanpa terurus sama sekali.
Batuan Candi Bojongemas sudah lama kusam, warnanya memudar dan lumut tumbuh di mana-mana.
Konon Candi Bojongemas merupakan bangunan pasaduan, yaitu tempat yang dianggap suci oleh pemeluk ajaran Kandaan yang dianut mayoritas masyarakat Kaisnawa (penganut agama Shiwa).
Indikasi sejarah tersebut ditilik dari ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Warga setempat lebih mengenalnya sebagai arca putri.
Selain arca, di lokasi reruntuhan Candi Bojongemas juga pernah ditemukan alat lisung dan halu, semacam, alat untuk menumbuk padi atau beras.
Kini yang tersisa hanyalah onggokan batu-batu yang tidak terurus, bahkan warga yang melintas di sekitar lokasi tidak paham dengan peninggalan bersejarah ini.
Dari awal pun, pemerintah setempat sudah “salah kaprah” memperlakukan situs Candi Bojongemas.
Semula letak candi berada tepat di aliran Sungai Citarum. Karena kerap tersapu luapan air sungai dan pemerintah setempat melakukan normalisasi aliran sungai, situs Candi Bojongemas dipindahkan ke lokasi yang sekarang ini dengan menggunakan alat berat beko.
Ekskavasi yang bersamaan dengan pengerukkan dan perubahan alur sungai dipastikan tidak melibatkan ahli-ahli arkeologi yang paham dengan penanganan benda-benda bersejarah. Faktor kerusakan tentu bisa diminimalkan jika sejak awal ditangani dengan benar.
Dulu warga masih bisa menyaksikan Candi Bojongemas memiliki sumber mata air yang tidak pernah kering. Masih ada kolam yang berisi ikan paray.
Kontribusi pemerintah setempat terhadap perawatan situs cagar budaya ini “hanyalah” papan informasi sekilas mengenai Candi Bojongemas.
Tanpa petugas dan tanpa pagar serta alat penerangan yang menandakan lokasi Candi Bojongemas tidak perlu harus dijaga keamanan dan kebersihan.
Sejak pindah rumah ke Kawasan Cibubur, Depok, Jawa Barat awal tahun 2000, saya selalu kerap mendengar cerita dan penuturan dari warga-warga setempat tentang berbagai mitos dan kisah legenda.
Semua kisah selalu dibalut dengan sejarah dan berbagai epos kepahlawanan.
Sangat terbatas sumber-sumber sejarah tentang Depok yang dapat dibaca dan ditelaah oleh peneliti dan masyarakat.
Catatan-catatan sejarah mengenai Cibubur dan Depok umumnya dapat diketahui dari catatan-catatan “kaki” para penulis Belanda, baik yang terkoleksi di perpustakaan-perpustakaan Indonesia ataupun yang ada di negeri Belanda.
Baik Tjibubur atau Depok adalah daerah “pinggiran” yang memanjang antara Batavia dan Buitenzorg.
Dikenal sebagai daerah perkebunan karet dan hutan ketika era sebelum penjajahan Jepang.
Catatan sejarah tentang Cibubur dan Depok masih sangat terbatas terlebih catatan itu ditulis dengan menggunakan sudut pandang penulisnya.
Sangat minim catatan sejarah yang ditulis oleh penulis selain catatan yang ditulis oleh Wenri Wanhar (2011) berjudul “Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945 – 1955”.