Hanya saja eksodus dan mobilitas remaja SCBD kian hari semakin mengganggu kenyamanan pengguna fasilitas transportasi dan area sekitar Stasiun Dukuh Atas.
Mereka mengokupasi jalan, meninggalkan tumpukan sampah serta mempertontonkan aksi merokok walau usianya masih belia.
Perlu memahami fenomena masyarakat di era post modernisme itu seraya mencarikan jalan keluarnya agar ekses negatif yang ditimbulkan dari Citayam Fashion Week bisa diminimalkan.
Fenomena Citayam Wave yang tengah trending di media social dan “menduduki” wilayah Sudirman, Jakarta, adalah bagian dari gaya hidup di masyarakat modern.
Remaja-remaja dari SCBD tidak lebih sebagai gambaran perjuangan “kelas” untuk mengokohkan dirinya di blantika persaingan hidup.
Jika label “anak muda Jaksel” diidentikkan sebagai kelas masyarakat atas, maka SCBD menorehkan Citayam Wave atau Citayan Fashion Week sebagai identitas mereka dalam mencari jati diri.
Mereka tidak minder atau malu, tetapi justru bangga dan mengejar “viral” karena terpaan media sosial yang intens mendesiminasikan kegiatan mereka.
Jika tongkrongan anak muda Jaksel kerap diasosiasikan dengan caffee dan resto bertarif mahal, maka remaja SCBD sudah merasa bahagia jika bisa jajan tahu bulat atau minum minuman Nutrisari.
Dengan uang jajan Rp 50.000 mereka bisa menjadi “idola” yang dimimpikannya. Dengan busana yang dibeli murah dari market place atau berburu dari penjualan barang bekas serta memadupadankan sesuai seleranya, mereka bisa tampil maksimal seperti pesohor.
Kolektivitas kelompok menjadikan mereka memiliki teman yang se-ide dan sependapat akan artinya “indentitas”.
Tampil menjadi “selebgram” seperti Bonge, Kurma, Jeje atau Roy yang diundang menjadi tamu podcast para influencer atau model foto dan video serta mendapat bayaran profesional, menjadi salah satu tujuan remaja-remaja SCBD.
Mereka tidak ubahnya dengan artis-artis panggung yang rindu order manggung atau politisi-politisi kita yang butuh narsis agar diketahui konstituen.
Remaja SCBD seperti halnya “anak baru gede” atau ABG butuh pengakuan akan identitas dan eksistensinya.
Mereka galau jika tidak mendapat pengakuan dari lingkungannya, belum lagi ajang eksistensi di Citayam, Bojonggede atau Depok memang tidak mendukung.
Ada berapakah ruang terbuka hijau dan senyaman Dukuh Atas atau minimal instagramable ada di Citayam? Apakah Bojonggede memiliki salasar senyaman kawasan pedestrian ala Sudirman?
David Chaney, mahaguru sosiologi dari Universitas Durham, Inggris menyebut fenomena seperti Citayam Wave adalah bagian dari gaya hidup yang menjadi ciri dunia modern yang disebut modernitas.
Siapapun yang hidup di dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri ataupun orang lain.
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan yang lainya.
Dengan cara pandang ini, interaksi remaja SCBD hendaknya dipahami sebagai cara mereka untuk esksis dan survive.
Lebih khusus lagi, Malcom Barnard dosen senior dalam bidang sejarah, teori seni dan desain dari Universitas Derby mengulas ajang pamer busana seperti yang ditampilkan remaja-remaja SCBD sebagai cara mengkomunikasikan identitas-identitas kelas, gender, seks dan sosial.
Faktor busana dipandang memiliki fungsi komunikatif. Pakaian, busana, kostum, dandanan, hoodie, atau sneakers yang dikenakan remaja SCBD di Citayam Fashion Week adalah bentuk komunikasi artifaktual. Berbagai elemen yang melekat di tubuh menyampaikan pesan-pesan nonverbal.
Menurut Desmond Morris dalam Manwacthing: A Field Guide to Human Behavior (1977) busana menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena mengkomunikasikan afiliasi budaya.