Dalam undangan itu disebutkan bahwa penjelasan akan disampaikan langsung oleh Presiden Direktur JNE Mohammad Feriadi Soeprapto, Vp of Marketing JNE Eri Palgunadi, serta kuasa hukum JNE Hotman Paris Hutapea.
Ada dua topik yang akan disampaikan dalam konferensi pers itu.
Pertama, JNE akan menyampaikan hak Jawab atas pemberitaan penimbunan paket bantuan sosial yang dikubur di Kampung Serab, Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok.
Kedua, JNE bersama kuasa hukumnya juga akan menyampaikan somasi terbuka terhadap pihak-pihak yang dianggap telah melakukan fitnah.
JNE menegaskan, sembako bantuan sosial (bansos) presiden yang dikubur di Lapangan KSU, Tirtajaya, Sukmajaya, Depok, adalah beras yang rusak.
Baca juga: Bulog Akui Salurkan Beras Bantuan Presiden Lewat Pihak Ketiga, Bukan JNE dan DNR
Tim Kuasa Hukum Hotman Paris and Partners untuk JNE, Anthony Djono, mengatakan, beras yang dikubur itu rusak karena terkena hujan setelah mengambil dari gudang Badan Urusan Logistik (Bulog).
"Karena beras itu sudah rusak, setelah beras dari gudang Bulog diambil ada yang kena hujan, jadi biasalah ada yang basah, jamur, sudah tidak layak konsumsi," kata Anthony.
Ia menjelaskan, JNE sebagai forwarder telah bertanggung jawab terhadap kerusakan beras bansos. Untuk itu, JNE telah mengganti beras yang layak untuk disalurkan kepada penerima manfaat.
"Tidak mungkin beras rusak kami salurkan kepada masyarakat, tidak mungkin beras rusak atau penerima manfaat," tegas Anthony.
Dengan demikian, Anthony menegaskan bahwa status beras yang dikubur itu bukan lagi beras bansos yang seharusnya disalurkan ke masyarakat.
Penemuan sembako bantuan presiden ini bermula dari laporan seorang karyawan perusahaan jasa pengiriman logistik JNE.
Baca juga: Akui Ada Kerusakan Sembako Bantuan Presiden, Bulog Sebut Perantara Sudah Berikan Beras Pengganti
Lapangan KSU tempat penemuan sembako itu biasa digunakan untuk parkir kendaraan JNE. Lokasi gudang JNE juga berada persis di seberang lapangan tersebut.
Kendati adanya pengakuan itu, Trubus menilai pengakuan tersebut dinilai kontraproduktif, serta memperkuat asumsi publik bahwa ada penyimpangan atau penyelewengan di sana.
"Menurut saya, penjelasan itu terasa irasional. Jadi membawa publik pada tuduhan dan dugaan yang mengarah pada adanya aktor intelektual," ujar Trubus.
(Penulis: Ihsanuddin, Larissa Huda, M Chaerul Halim | Editor: Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.