AWALNYA, gelaran Citayam Fashion Week (CFW) diapresiasi sangat positif sebagai sarana untuk para remaja berekspresi di ruang publik.
Semangatnya juga telah merambah ke kota-kota lain di Indonesia dan menginspirasi banyak orang/komunitas untuk menggagas hal serupa. Misalnya, Pesantren Fashion Week, Daqu Fashion Week, seperti digagas oleh Ustaz Yusuf Mansur.
Namun, sejak Pemprov DKI Jakarta “membubarkan” gelaran tersebut dengan alasan rawan kriminalitas, mengganggu ketertiban umum dan berpotensi menyebarkan LGBT, CFW sepertinya mulai kehilangan substansinya sebagai “budaya sandingan” dari komunitas akar rumput.
Belakangan yang viral justru hal-hal yang bersifat asesoris atau pernik-pernik tingkah personal para pemrakarsanya.
Upaya beberapa label yang mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) ke Kementerian Hukum dan HAM akhirnya dibatalkan, karena keburu muncul kontroversi dan reaksi negatif dan hujatan yang cukup luas di kalangan warganet.
Tindakan meng-HaKI-kan CFW sebagai “Merek” ini diduga oleh sejumlah pihak berpotensi merusak keaslian fenomena sosial, dan mengeksploitasinya untuk tujuan dan kepentingan ekonomis melalui hak eksklusif penyelenggaraan gelaran acara CFW yang akan dipunyai.
Hasil survei terbuka oleh Pikiran Rakyat juga menunjukkan 70 persen (2.520 responden) dari 3.600 suara menyatakan tidak setuju untuk mematenkan CFW secara perorangan atau perusahaan (26/07/2022).
Realitas ini sungguh sangat disayangkan, mengingat CFW bisa dikelola dan dikembangkan setara dengan gelaran yang sama seperti “Harajuku Fashion Street” (HFS) di distrik Shibuya Tokyo, Jepang era 1980-an, dan “La Sape”, singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People di Republik Kongo pada awal abad ke-20.
Pertanyaannya kemudian adalah: jika di-HaKI-kan, siapakah yang berhak meng-HaKI-kan atau bagaimana jika CFW tidak di-HaKI-kan?
Berdasarkan UU 28/2014 tentang Hak Cipta, yang berhak meng-HaKI-kan CFW, sekaligus sebagai “Pencipta” dan “Pemegang Hak Cipta” adalah sang pencipta sendiri (seorang atau beberapa orang) atau “pihak lain yang menerima hak secara sah” dari pencipta CFW.
Dari hasil telusuran, yang berhak secara sah adalah Ale dan/atau bersama-sama dengan Jeje, Bonge, Kurma, dan Roy.
Mengapa? Karena Ale orang yang pertama kali melakukan 'fashion show' di zebra cross yang berada di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Selatan tahun 2019 (Pikiran Rakyat, 27/07/2022).
Gelaran ini baru menjadi viral di era Jeje, Bonge, Kurma dan Roy yang kemudian dikenal dengan nama Citayam Fashion Week. Mereka kemudiaan dinisbatkan sebagai ikon CFW.
Hingga saat ini, mereka belum ada kabar akan mengajukan pendaftaran HaKI CFW ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) – KemenkumHAM.
Jika alasannya mereka tidak mampu, sebenarnya bisa saja mereka menunjuk Kuasa sebagai konsultan kekayaan intelektual untuk mengajukan permohonan dan pencatatan Ciptaan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.