JAKARTA, KOMPAS.com - Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah pesan yang selalu disampaikan Bapak Proklamator Indonesia Bung Karno.
Meski bangsa ini sudah merdeka, jiwa nasionalisme pada generasi penerus harus selalu ditanamkan.
Caranya yaitu dengan mengetahui sejarah kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara untuk mengingat sejarah perjuangan merebut kemerdekaan adalah dengan berkunjung ke museum atau bangunan bersejarah.
Salah satu bangunan bersejarah di Jakarta yang menyimpan segudang cerita perjuangan kemerdekaan adalah Gedung Joang 45.
Baca juga: Menengok Rumah Penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok
Gedung ini beralamat di Jalan Menteng Raya Nomor 31, Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.
Museum Joang 45 saat ini dikelola oleh UP Museum Kesejarahan Jakarta, Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Berawal dari tahun 1926, ketika itu kawasan Batavia sedang berkembang pesat sebagai pusat kota (atau sekarang dikenal Kota Tua Jakarta).
Karena terlalu ramai pejabat eropa dan pribumi yang singgah, pemerintah Belanda berinisiatif membuat permukiman baru.
Kemudian mereka mencari tanah yang masih di kawasan Kota Batavia, hingga ditemukan tanah yang cocok untuk permukiman (tanah Gedung Joang).
Akhirnya kawasan Menteng (sebutan saat ini) dijadikan tempat permukiman pemerintah Belanda dan lahannya dibeli dari pemilik tanah yang merupakan orang Arab.
Baca juga: Gedung Joang 45, Hotel Mewah yang Menjelma Markas Pemuda Revolusioner Jelang Kemerdekaan
Barulah pada sekitar tahun 1938, dibangun hotel yang menjadi salah satu hotel elite di kawasan Batavia. Hotel itulah yang menjadi awal mula Gedung Joang 45 kini.
Gedung itu dulu dikelola oleh keluarga L.C. Schomper, seorang berkebangsaan Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia.
Hotelnya pun diberi nama Schomper sesuai dengan nama pemiliknya. Hotel tersebut terkenal sebagai hotel terbaik di kawasan pinggiran Selatan Batavia.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan menguasai Batavia pada tahun 1942, aset-aset milik negara diambil alih oleh Jepang, termasuk Hotel Schomper.
Tak lama, Jepang pun menghadapi Perang Asia Timur Raya yang berujung hotel diserahkan kepada para pemuda Indonesia. Pemuda inilah yang kemudian menjadi Pemuda Revolusioner Kemerdekaan Indonesia.
Gedung yang semula berfungsi sebagai hotel itu kemudian beralih menjadi kantor yang dikelola Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang dikepalai oleh seorang Jepang, “Simizu”.
Baca juga: 3 Fakta Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Sempat Jadi Perpustakaan
Di kantor ini diadakan program pendidikan politik untuk mendidik pemuda-pemuda Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.
Tujuan awal Jepang saat itu untuk membantu mereka memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Jumlah tenaga pengajarnya ada 11 orang, terdiri dari 8 orang Indonesia dan 3 orang asal Jepang.
Namun, karena pengajarnya kebanyakan orang Indonesia, materi pembelajaran yang awalnya bertujuan untuk menanamkan semangat Jepang, justru dibelokkan menjadi semangat merebut kemerdekaan dari Jepang.
Negeri matahari terbit itu pun mulai mengendus perubahan nasionalisme para pengajar.
Lantaran curiga, pada 16 April 1943 Jepang pun membuat organisasi baru yang bernama Putera (Pusat Penata Rakyat) yang dipimpin oleh empat serangkai.