KARAWANG, KOMPAS.com - Sekitar 77 tahun lalu, pada 16 Agustus 1945, tokoh perjuangan Indonesia Soekarno dan Mohammad Hatta "diculik" untuk dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Istri Soekarno, Fatmawati, dan anak mereka yang masih bayi, Guruh Soekarnoputra, juga ikut diboyong ke Rengasdengklok.
Ketika itu, golongan pemuda ingin menjauhkan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang yang baru saja kalah di Perang Dunia ke II dan menyerahkan diri kepada sekutu.
Bersama dengan kaum muda, Soekarni, Shodancho Singgih, Jusuf Kunto, dan tokoh-tokoh lainnya, Soekarno-Hatta tinggal sementara di rumah milik Djiauw Kie Siong untuk mematangkan rencana kemerdekaan Indonesia.
Keesokan harinya, naskah proklamasi pun dibacakan oleh Soekarno di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat.
Baca juga: Menengok Rumah Penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok
Lalu, siapa Djiauw Kie Siong itu? Istri dari cucu Djiauw Kie Siong, yang ingin diidentifikasi sebagai ibu Yanto menuturkan bahwa Djiauw Kie Siong adalah petani yang tinggal di sekitar Sungai Citarum.
"Kakek itu petani dan dulu berladang palawija. Dulu kakek punya sawah sekitar dua hektar. Kakek sudah bertani lebih dari 20 tahun saat itu, sejak tahun 1930," kata perempuan yang kini menginjak usia 74 tahun tersebut.
Selama bertani, mayoritas tanaman yang ditanam oleh Djiauw Kie Siong adalah timun, singkong, terong, hingga kacang.
Djiaw Kie Siong sendiri merupakan keturunan Tionghoa. Menurut ibu Yanto, Djiaw Kie Song lahir sekitar tahun 1880 di Desa Pisangsambo, Karawang.
Di tahun 1920, Djiauw Kie Siong pindah ke Rengasdengklok ke rumah yang kini telah dijadikan cagar budaya.
Baca juga: Menelusuri Tempat Naskah Proklamasi Disusun: Dulu Kediaman Perwira Tinggi Jepang, Kini Museum
Djiauw Kie Siong wafat pada tahun 1964, kemungkinan karena sakit paru-paru yang dideritanya.
"Meninggal tahun 1964," ucap dia singkat.
Ia juga bercerita, rumah Djiauw Kie Siong itu tidak pernah dipugar, mulai dari lantai hingga bilik kamar, semua masih asli dan berusia lebih dari 100 tahun.
"Ini (lantai) masih asli. Ini dari tanah merah, bahan batu bata. Bapak (Djiauw Kie Siong) kan pindah tahun 1920, berarti ini usia rumah sudah 102 tahun," tutur Ibu Yanto.
Meski tokoh proklamasi dan pemuda Indonesia hanya singgah sebentar di rumah Djiauw Kie Siong, rumah itu akan selamanya menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia.
Keberadaan Djiauw Kie Siong dan rumahnya di Rengasdengklok itu menjadi saksi bahwa etnis Tionghoa juga ikut berkontribusi besar dalam kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Jejak Perjuangan di Gedung Joang 45: Hotel Mewah yang Jadi Markas Pemuda Revolusioner