JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menilai bahwa pengaturan jam kerja untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota merupakan langkah yang realistis.
Namun, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo mengungkapkan sejumlah kekhawatirannya ketika pengaturan jam kerja mulai diterapkan.
"Dari hasil diskusi, (pengaturan jam kerja) bisa diterapkan. Tetapi kemudian ada beberapa catatan yang harus didetilkan," tuturnya, kepada awak media, Jumat (2/9/2022).
Kekhawatiran pertama, yakni pengaturan itu berdampak kepada pengguna transportasi umum.
Baca juga: Pemprov DKI Bakal Uji Coba Pengaturan Jam Kerja untuk Atasi Kemacetan
Sebab, bisa jadi jumlah kendaraan umum justru turut meningkat ketika jam yang semula tidak padat.
Padahal, kata Syafrin, pengaturan jam kerja sejatinya untuk mengatur mobilitas warga agar lebih efisien lagi.
"Dari sisi diskusi, ada yang menyampaikan bahwa bukan tidak mungkin setelah ditetapkan perubahan, malah yang terkena dampak itu yang menggunakan angkutan umum," sebutnya.
"Karena yang seharusnya kami atur bukan distribusi jumlah kendaraan ke jam-jam yang tidak padat, tetapi bagaimana mengatur mobilitas orang agar lebih efisien," sambung dia.
Syafrin melanjutkan, kekhawatiran lain dampak pengaturan jam kerja adalah penambahan biaya (cost) dari pihak perusahaan.
Baca juga: Wacana Pengaturan Jam Kerja, Tambal Sulam Solusi Atasi Kemacetan Jakarta
Ia mencontohkan, sebuah perusahaan telah mengatur jam kerja para pegawainya.
Biasanya, pada sore hari perusahaan sudah mematikan listrik di gedungnya.
Namun, ketika pengaturan jam kerja diterapkan dan memundurkan waktu kerja para pegawainya, perusahaan terpaksa memperpanjang waktu penggunaan listrik gedungnya.
"Jangan sampai justru ini (pengaturan jam) menimbulkan high cost untuk kalangan tertentu yang sudah melakukan itu. Dari perusahaan misalnya, biasanya kan setengah lima atau jam lima sudah dimatikan listrik. Begitu ada tambahan jam, otomatis biaya itu akan meningkat lagi," urai Syafrin.
Ia pun menyebut, penambahan biaya itu bakal dibebankan kepada pihak perusahaan.
"Tentu perusahaan yang bersangkutan kan (yang menanggung tambahan biaya)," ujarnya.