JAKARTA, KOMPAS.com - Sopir dan kondektur bus Mayasari 70A jurusan Tanah Abang-Cileungsi duduk-duduk di pinggir Jalan Gatot Subroto, wilayah Semanggi, Jakarta Selatan.
Mereka mengetem setidaknya 20 menit, menikmati rutinitas baru setelah pandemi sambil menghayati lagu lama kenaikan harga bahan bakar minyak.
Setelah pemerintah mengumumkan harga BBM naik, Wahyu (40) dan kawan-kawannya yang mengemudikan bus hanya bisa gigit jari.
Harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Kenaikan harga sampai 32 persen itu begitu terasa karena dalam sehari, satu bus membutuhkan 105-140 liter solar.
”Satu PP (pulang pergi) bus ini butuh solar 35 liter. Kalau 3-4 kali PP hitung aja butuh berapa. Beli solar sehari biasanya Rp 600.000, jadi hampir Rp 800.000," kata Wahyu, dilansir dari Kompas.id, Selasa (6/9/2022).
"Setoran ke kantor tetap sama, tapi BBM beli sendiri, otomatis uang makan keambil. Kita udah nombok duluan dari kemarin,” sambungnya.
Di sisi lain, Wahyu sendiri masih ragu perusahaannya akan menaikkan ongkos naik bus ke penumpang.
”Sekarang mau naikin tarif enggak bisa sembarangan, apalagi udah naik sejak korona. Sekarang Rp 20.000 per penumpang, sebelumnya Rp 15.000," kata dia.
Pertimbangan untuk menaikkan ongkos juga riskan karena jumlah penumpang masih jauh berkurang.
Sebelum pandemi, bus mereka cepat terisi penumpang begitu sampai di sekitar kawasan perkantoran di Semanggi itu. Namun, dua tahun belakangan ini, mereka harus mengetem sampai hampir setengah jam.
"Sekarang jalanin dulu ajalah. Kadang bisa bawa uang ke rumah kadang enggak, namanya kita enggak ada gaji harian, cuma ngandelin kelebihan setoran,” ujarnya.
Agung, sopir lain dari trayek sama, pun hanya bisa berpasrah harus menomboki sampai Rp 250.000 bersama satu rekan kerjanya untuk bisa menutupi biaya bensin sehari.
Ia hanya beruntung karena tidak memiliki tanggungan selain orangtua yang memahami keadaannya. Ia kini belajar mengurangi pengeluaran untuk makan dan rokok.
”Kalau dari saya sendiri bingung juga. Mau berbantah ke kantor, pasti salah. Ya udah, kita jalanin aja apa adanya, yang penting usaha,” kata pemuda lulusan STM yang sudah tiga tahun menjadi sopir bus.
Baca juga: Ganjil Genap Jakarta di 26 Ruas Jalan, Cek Lokasi dan Jam Berlakunya
Selain pengemudi bus, pengemudi angkutan kota (angkot) reguler juga terdampak kenaikan biaya BBM.