Pernyataan ini termaktub di esainya Kebenaran Nomor Satoe, Baru Kebagoesan 1943 yang dibukukan dengan judul Seni, Kesenian dan Masyarakat.
Kata-kata “Bapak Seni Lukis Baru” kita itu benar-benar menampar. Meng-elingkan (Jawa-mengingatkan) kembali tugas para pekerja seni.
Sebagai ingatan sejarah, Indonesia dan seni lukis telah mengada dan saling menyapa. Sudjojono memberi arah tujuan sekaligus “Arah Seni” sebenar-benarnya bagi bangsa.
Sangat gamblang sekali, sejarah adalah cawan peneguh cita-cita tentang kebenaran.
Penulis kembali mengeja tahun-tahun tatkala tentara NICA menguasai ibu kota dan para pemural, seniman dan penggiat graffiti menorehkan kata-kata lantang di tembok; Hidup atau Mati, Ganyang NICA atau Sekali Mereka tetap Merdeka medio sekitar tahun 1945-1949.
Agresi Belanda disongsong oleh seni di tembok—mural dan grafiiti juga mengingat sohornya poster dan baliho ini; Boeng ayo Boeng! yang fenomenal itu dengan kolaborasi erat seniman-seniman seperti penyair Chairil Anwar, pelukis Affandi serta Sudjojono.
Seni mural memang niscaya adalah ekspresi seni propaganda dan pada galibnya sesuai juga dengan pernyataan Sudjojono tentang “Kebenaran” didahulukan sebelum “Keindahan” bisa dipraktikkan.
Bagus akan kebenaran dengan indah secara fisik sangat tipis jaraknya dan teman-teman pemural memilih kebenaran sejarah dan realitas bangsa yang dihadapi saat ini.
Pernyataan dalam buku, "soal hidup atau mati" dalam pidatonya di IPB, Bogor, tahun 1952 itu adalah kebenaran sejarah, kondisi negeri dan kebenaran estetika.
Sebuah rangkaian atas ketersediaan pangan yang berkualitas-rantai distribusi yang adil dan pemanfaatan produk yang maksimal untuk konsumen adalah mantra-mantra dan wujud-wujud kerja nyata yang selayaknya terus dirapalkan setiap saat.
Sementara itu, merenungkan yang sudah dan bersiap berbenah, maka terjadi pertemuan langka para seniman-seniman mural dengan Pimpinan Manajemen Pasar Induk Beras Cipinang menemukan momentumnya.