Lebih parahnya lagi, konten-konten prank tersebut justru mengajarkan kejelekan kepada generasi muda, bahkan anak-anak.
Sebagaimana kita ketahui, media sosial sangatlah bebas diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Maka, sudah selaiknya kita lebih berhati-hati dan peka untuk hal-hal semacam ini.
Menurut pendapat seorang akademisi, konten prank memang bukanlah hal baru dan seringkali ditujukan untuk menaikkan viewers-nya, namun justru menghilangkan sisi kemanusiaan itu sendiri (seleb.tempo.com, 5 Oktober 2022).
Lalu, berkaitan dengan konten prank KDRT, seharusnya hal itu tidak menjadi bahan candaan karena dikhawatirkan kedepannya akan terjadi normalisasi atau menganggap hal itu adalah hal biasa. Padahal, kasus kekerasan bukanlah sesuatu yang bisa ditoleransi.
Selanjutnya menurut sebuah penelitian dari Anastasia (2020), konten prank akan menimbulkan sikap negatif dari penonton.
Sikap negatif yang terjadi antara lain terjadi kecenderungan menjauhi, membenci, menghindari, ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek berupa peristiwa prank tersebut (repositori.usu.ac.id).
Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya penonton pun cenderung tidak menyukai konten prank. Namun cukup mengherankan mengapa justru banyak penggiat media sosial yang membuat konten-konten prank.
Mungkin jawaban sederhana dari fenomena ini adalah karena konten prank memang cenderung akan menghasilkan banyak viewers, yang pada gilirannya juga akan berimbas pada aspek finansial dari penggiat media sosial itu sendiri.
Senada dengan penelitian Anastasia di atas, Isnawan (2021) juga menyatakan bahwa konten prank yang awalnya ditujukan sebagai hiburan, candaan dan bahan tertawaan, justru lama-kelamaan semakin keterlaluan, bahkan menimbulkan kemarahan masyarakat (openjournal.unpam.ac.id).
Menurut Isnawan, pelaku konten prank justru menunjukkan sikap antisosial dalam diri mereka. Isnawan juga menyatakan bahwa di dalam hukum Islam pun kita dilarang melakukan prank yang akan menimbulkan kemarahan dan kekecewaan karena menyinggung perasaan orang lain sebagai korban.
Lalu, mengapa untuk memperoleh uang harus dengan mengerjai orang lain? Sebuah hal yang miris tentunya.
Dalam konteks prank, kebanyakan memang pada akhirnya para pelaku akan meminta maaf. Namun, apalah daya nasi telah menjadi bubur.
Apakah dengan meminta maaf sudah merasa cukup? Tentu saja tidak. Konten yang dibuat sudah terlanjur dengan begitu mudah dan cepatnya beredar di masyarakat via beragam kanal, baik media sosial maupun berita di media massa.
Jangan sampai kemudian perilaku negatif itu justru menjadi “contoh dan pembiasaan” di masyarakat.
Maka, hal ini seharusnya menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan sampai kita mewariskan perilaku, sikap, dan sifat-sifat negatif kepada generasi muda penerus bangsa ini dari apa-apa yang mereka nikmati dan tonton di media sosial.
Sementara itu bagi para artis dan penggiat media sosial diharapkan dapat berhenti membuat konten prank.
Konten prank jangan sampai “dianggap normal” sehingga menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan, seperti simpati, empati, dan etika kita kepada orang lain.
Jangan hanya demi kepuasaan personal, demi banyaknya viewers dan followers, lalu kita kemudian kehilangan kepedulian sosial, kepekaan hati, serta rasa empati dan etika kepada orang lain.
Oh iya, satu hal lagi yang juga penting diperhatikan adalah adanya efek hukum baik pidana maupun perdata jika ternyata orang yang dikerjai tidak terima dan melaporkan tindakan prank itu kepada pihak berwajib. Maka, sebaiknya berhentilah membuat prank dan mengerjai orang lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.