Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Nur
PNS Kementerian Keuangan

PNS Kementerian Keuangan

Konten Prank: Memudarnya Empati dan Etika

Kompas.com - 06/10/2022, 13:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lebih parahnya lagi, konten-konten prank tersebut justru mengajarkan kejelekan kepada generasi muda, bahkan anak-anak.

Sebagaimana kita ketahui, media sosial sangatlah bebas diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Maka, sudah selaiknya kita lebih berhati-hati dan peka untuk hal-hal semacam ini.

Memudarnya rasa empati dan etika

Menurut pendapat seorang akademisi, konten prank memang bukanlah hal baru dan seringkali ditujukan untuk menaikkan viewers-nya, namun justru menghilangkan sisi kemanusiaan itu sendiri (seleb.tempo.com, 5 Oktober 2022).

Lalu, berkaitan dengan konten prank KDRT, seharusnya hal itu tidak menjadi bahan candaan karena dikhawatirkan kedepannya akan terjadi normalisasi atau menganggap hal itu adalah hal biasa. Padahal, kasus kekerasan bukanlah sesuatu yang bisa ditoleransi.

Selanjutnya menurut sebuah penelitian dari Anastasia (2020), konten prank akan menimbulkan sikap negatif dari penonton.

Sikap negatif yang terjadi antara lain terjadi kecenderungan menjauhi, membenci, menghindari, ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek berupa peristiwa prank tersebut (repositori.usu.ac.id).

Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya penonton pun cenderung tidak menyukai konten prank. Namun cukup mengherankan mengapa justru banyak penggiat media sosial yang membuat konten-konten prank.

Mungkin jawaban sederhana dari fenomena ini adalah karena konten prank memang cenderung akan menghasilkan banyak viewers, yang pada gilirannya juga akan berimbas pada aspek finansial dari penggiat media sosial itu sendiri.

Senada dengan penelitian Anastasia di atas, Isnawan (2021) juga menyatakan bahwa konten prank yang awalnya ditujukan sebagai hiburan, candaan dan bahan tertawaan, justru lama-kelamaan semakin keterlaluan, bahkan menimbulkan kemarahan masyarakat (openjournal.unpam.ac.id).

Menurut Isnawan, pelaku konten prank justru menunjukkan sikap antisosial dalam diri mereka. Isnawan juga menyatakan bahwa di dalam hukum Islam pun kita dilarang melakukan prank yang akan menimbulkan kemarahan dan kekecewaan karena menyinggung perasaan orang lain sebagai korban.

Lalu, mengapa untuk memperoleh uang harus dengan mengerjai orang lain? Sebuah hal yang miris tentunya.

Dalam konteks prank, kebanyakan memang pada akhirnya para pelaku akan meminta maaf. Namun, apalah daya nasi telah menjadi bubur.

Apakah dengan meminta maaf sudah merasa cukup? Tentu saja tidak. Konten yang dibuat sudah terlanjur dengan begitu mudah dan cepatnya beredar di masyarakat via beragam kanal, baik media sosial maupun berita di media massa.

Jangan sampai kemudian perilaku negatif itu justru menjadi “contoh dan pembiasaan” di masyarakat.

Maka, hal ini seharusnya menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan sampai kita mewariskan perilaku, sikap, dan sifat-sifat negatif kepada generasi muda penerus bangsa ini dari apa-apa yang mereka nikmati dan tonton di media sosial.

Sementara itu bagi para artis dan penggiat media sosial diharapkan dapat berhenti membuat konten prank.

Konten prank jangan sampai “dianggap normal” sehingga menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan, seperti simpati, empati, dan etika kita kepada orang lain.

Jangan hanya demi kepuasaan personal, demi banyaknya viewers dan followers, lalu kita kemudian kehilangan kepedulian sosial, kepekaan hati, serta rasa empati dan etika kepada orang lain.

Oh iya, satu hal lagi yang juga penting diperhatikan adalah adanya efek hukum baik pidana maupun perdata jika ternyata orang yang dikerjai tidak terima dan melaporkan tindakan prank itu kepada pihak berwajib. Maka, sebaiknya berhentilah membuat prank dan mengerjai orang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kena Batunya, Pengemudi Fortuner Arogan Mengaku Keluarga TNI Kini Berbaju Oranye dan Tertunduk

Kena Batunya, Pengemudi Fortuner Arogan Mengaku Keluarga TNI Kini Berbaju Oranye dan Tertunduk

Megapolitan
Toko Pigura di Mampang Prapatan Kebakaran

Toko Pigura di Mampang Prapatan Kebakaran

Megapolitan
Puspom TNI: Purnawirawan Asep Adang Tak Kenal Pengemudi Fortuner Arogan yang Pakai Pelat Mobil Dinasnya

Puspom TNI: Purnawirawan Asep Adang Tak Kenal Pengemudi Fortuner Arogan yang Pakai Pelat Mobil Dinasnya

Megapolitan
Pemilik Khayangan Outdoor: Istri Saya Langsung Nangis Saat Tahu Toko Dibobol Maling

Pemilik Khayangan Outdoor: Istri Saya Langsung Nangis Saat Tahu Toko Dibobol Maling

Megapolitan
Puluhan Barang Pendakian Digondol Maling, Toko 'Outdoor' di Pesanggrahan Rugi Hingga Rp 10 Juta

Puluhan Barang Pendakian Digondol Maling, Toko "Outdoor" di Pesanggrahan Rugi Hingga Rp 10 Juta

Megapolitan
Ratusan Orang Jadi Korban Penipuan Program Beasiswa Doktoral di Filipina

Ratusan Orang Jadi Korban Penipuan Program Beasiswa Doktoral di Filipina

Megapolitan
Sejumlah Tokoh Bakal Berebut Tiket Pencalonan Wali Kota Bogor Lewat Gerindra

Sejumlah Tokoh Bakal Berebut Tiket Pencalonan Wali Kota Bogor Lewat Gerindra

Megapolitan
Alasan Warga Masih 'Numpang' KTP DKI: Saya Lebih Pilih Pendidikan Anak di Jakarta

Alasan Warga Masih "Numpang" KTP DKI: Saya Lebih Pilih Pendidikan Anak di Jakarta

Megapolitan
Usai Videonya Viral, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Buang Pelat Palsu TNI ke Sungai di Lembang

Usai Videonya Viral, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Buang Pelat Palsu TNI ke Sungai di Lembang

Megapolitan
NIK-nya Dinonaktifkan karena Tak Lagi Berdomisili di Ibu Kota, Warga: Saya Enggak Tahu Ada Informasi Ini

NIK-nya Dinonaktifkan karena Tak Lagi Berdomisili di Ibu Kota, Warga: Saya Enggak Tahu Ada Informasi Ini

Megapolitan
Remaja yang Dianiaya Mantan Sang Pacar di Koja Alami Memar dan Luka-luka

Remaja yang Dianiaya Mantan Sang Pacar di Koja Alami Memar dan Luka-luka

Megapolitan
Toko 'Outdoor' di Pesanggrahan Dibobol Maling, Total Kerugian Rp 10 Juta

Toko "Outdoor" di Pesanggrahan Dibobol Maling, Total Kerugian Rp 10 Juta

Megapolitan
Dua Begal Motor di Bekasi Terancam Pidana 9 Tahun Penjara

Dua Begal Motor di Bekasi Terancam Pidana 9 Tahun Penjara

Megapolitan
Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Megapolitan
Cerita Warga 'Numpang' KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Cerita Warga "Numpang" KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com