Entah apapun tujuannya, jika kita kembalikan pada substansinya, maka prank adalah kebohongan. Maka dari perspektif ini kita bisa menyatakan bahwa prank adalah sesuatu yang tidak etis.
Menurut salah seorang korban KDRT, penderitaan orang lain sebagaimana KDRT yang ia alami tidaklah etis jika menjadi bahan candaan (bbc.com, 4 Oktober 2022).
Bahkan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, berpendapat bahwa video lelucon (prank) BW dan PV tersebut “secara tidak langsung mengatakan bahwa KDRT tidak ada” (bbc.com, 4 Oktober 2022).
Lebih parahnya lagi, konten-konten prank tersebut justru mengajarkan kejelekan kepada generasi muda, bahkan anak-anak.
Sebagaimana kita ketahui, media sosial sangatlah bebas diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Maka, sudah selaiknya kita lebih berhati-hati dan peka untuk hal-hal semacam ini.
Menurut pendapat seorang akademisi, konten prank memang bukanlah hal baru dan seringkali ditujukan untuk menaikkan viewers-nya, namun justru menghilangkan sisi kemanusiaan itu sendiri (seleb.tempo.com, 5 Oktober 2022).
Lalu, berkaitan dengan konten prank KDRT, seharusnya hal itu tidak menjadi bahan candaan karena dikhawatirkan kedepannya akan terjadi normalisasi atau menganggap hal itu adalah hal biasa. Padahal, kasus kekerasan bukanlah sesuatu yang bisa ditoleransi.
Selanjutnya menurut sebuah penelitian dari Anastasia (2020), konten prank akan menimbulkan sikap negatif dari penonton.
Sikap negatif yang terjadi antara lain terjadi kecenderungan menjauhi, membenci, menghindari, ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek berupa peristiwa prank tersebut (repositori.usu.ac.id).
Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya penonton pun cenderung tidak menyukai konten prank. Namun cukup mengherankan mengapa justru banyak penggiat media sosial yang membuat konten-konten prank.
Mungkin jawaban sederhana dari fenomena ini adalah karena konten prank memang cenderung akan menghasilkan banyak viewers, yang pada gilirannya juga akan berimbas pada aspek finansial dari penggiat media sosial itu sendiri.
Senada dengan penelitian Anastasia di atas, Isnawan (2021) juga menyatakan bahwa konten prank yang awalnya ditujukan sebagai hiburan, candaan dan bahan tertawaan, justru lama-kelamaan semakin keterlaluan, bahkan menimbulkan kemarahan masyarakat (openjournal.unpam.ac.id).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.