JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak banyak orang tahu jika area pusat berkesenian di Jakarta yakni Taman Ismai Marzuki, yang dalam beberapa tahun terakhir menjalani revitalisasi, dulunya merupakan bekas area kebun binatang.
Semua bermula Awal perkembangan wilayah Cikini, Jakarta Pusat, dari yang awalnya berupai perkampungan menjadi kawasan pertokoan.
Dari peta Batavia tahun 1866, Jalan Raya Cikini saat itu hanyalah jalan kampung yang buntu di Bioskop Metropole yang saat itu juga belum terbangun.
Awal perkembangan wilayah Cikini dimulai saat pelukis kenamaan Raden Saleh membangun rumah istananya pada 1852 setelah 20 tahun melanglang buana di Eropa.
Pada 1864, kebun seluas sekitar 10 hektar tersebut dihibahkan menjadi Planten en Dierentuin yang berarti tanaman dan kebun binatang.
Kebun binatang ini pun dikelola oleh Perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna Batavia (Culture Vereniging Planten en Dierentuin at Batavia).
Baca juga: Pemprov DKI Berencana Bentuk BUMD untuk Kelola Taman Ismail Marzuki
Mengutip dari harian Kompas, Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Bambang Eryudhawan mengatakan, berdirinya Planten en Dierentuin itu menjadi daya tarik pertama keramaian di kawasan Cikini.
Dengan ramainya aktivitas warga di sekitaran kebun binatang tersebut, akhirnya kerap digelar pertunjukan musik ataupun seni hiburan yang semakin memeriahkan area ini.
”Karena keramaian ini, lalu taman kota Menteng mulai dirancang di sekitar sana,” kata Bambang..
Setelah Taman Kebun Binatang Cikini dipindah ke lokasi Taman Margasatwa Ragunan pada 1964, kompleks itu menjadi Taman Ismail Marzuki seperti yang dikenal sekarang.
Puluhan tahun lalu, seniman-seniman di Jakarta mengeluhkan kurangnya fasilitas penyaluran bakat kesenian kreatif di ibu kota. Keluhan para seniman ini kemudian ditanggapi Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1968.
Ali menganggap keinginan para pelaku seni itu selaras dengan cita-cita menjadikan Jakarta sebagai kota budaya.
Baca juga: Cara ke Perpustakaan Cikini Naik Transjakarta, KRL, dan JakLingko
Untuk mewujudkan sebuah pusat budaya dan kesenian di ibu kota, Ali kemudian menunjuk tujuh orang seniman sebagai formatur Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Mereka terdiri dari Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Rudy Pirngadi, Zulharman Said, D Djajakusuma, dan Gajus Siagian.
Tujuh seniman ini juga yang ditunjuk Ali untuk mengelola Pusat Keseniaan Jakarta, sekaligus membuat sebuah kegiatan seni untuk dapat dipertontonkan ke khalayak ramai.