Secara langsung maupun tidak langsung, tindakan favoritisme keagamaan oleh institusi pemerintah telah berdampak pada menguatnya kultur diskriminatif kelompok keagamaan yang dominan di suatu masyarakat.
Dominasi suatu kelompok keagamaan tertentu yang didukung oleh institusi Pemerintah ini berujung pada praktik-praktik peminggiran (marginalisasi) kelompok masyarakat yang memiliki identitas keagamaan lainnya dan meningkatkan segregasi sosial (Ropi: 2017, hlm. 188-194).
Di sisi lain, Negara maupun Pemerintah yang modern, pada dasarnya adalah organisasi masyarakat yang seharusnya berangkat dari cara pikir yang rasional, universal, imparsial, dan berangkat dari semangat mengabdi untuk kepentingan publik (Res Publica) atau semua orang tanpa memandang apapun identitasnya (Cicero: 2014, hlm. 31).
Tujuan dari semangat Res Publica ini tiada lain untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua.
Saat Negara ataupun Pemerintah diokupasi oleh kepentingan kelompok identitas keagamaan tertentu, maka ia tidak lagi menjadi Res Publica, melainkan Res Privata.
Dalam logika Res Privata, maka yang dikejar adalah kepentingan privat semata, dalam hal ini mengejar dan mendapatkan keuntungan bagi individu dan kelompok privat itu semata.
Saat logika Res Privata diselundupkan dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, maka yang terjadi adalah praktik korup dan pengerukan keuntungan untuk kelompok tertentu saja.
Dan draft rancangan Perda Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius menunjukan adanya potensi praktik korup tersebut.
Ini dapat dilihat dari pengaturan anggaran publik (APBD/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang dialokasikan untuk pendanaan penyelenggaraan kota religius.
Selain penggunaan anggaran hanya dinikmati oleh segelintir kelompok saja dan rawan disalahgunakan, juga berpotensi menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan pengelolaan alokasi anggaran keuangan daerah yang seharusnya dan sebaiknya diarahkan untuk mengatasi problem fundamental di Kota Depok, seperti masalah infrastruktur pelayanan publik, ketimpangan kesejahteraan ekonomi warga, amburadulnya tata ruang dan lingkungan hidup, kerusakan jalanan dan infrastruktur publik, dan lainnya.
Rancangan Perda Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius secara normatif-yuridis telah jelas bertentangan dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah, karena isu yang digarap di dalam rancangan Perda bukanlah kewenangan Pemerintah Daerah, melainkan wewenang Pemerintah Pusat.
Sehingga secara prosedural legislasi, rancangan Perda tersebut dapat dikatakan batal secara hukum.
Meski begitu, potensi pengesahan rancangan Perda nampaknya akan tetap ada. Untuk itu Pemerintah Pusat -khususnya Kementerian Dalam Negeri RI- maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pelaksana mandat Undang-undang harus menindak tegas indikasi praktik kesewenang-wenangan berhukum yang dilakukan Pemerintah Kota Depok terkait isu ini, untuk mencegah dampak potensi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia warga Depok akibat pengesahan rancangan Perda tersebut oleh DPRD dan Pemerintah Kota Depok.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.