Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Rasyid Ridha
Pengacara

Advokat/pengacara publik YLBHI-LBH Jakarta; mahasiswa Magister Ilmu Hukum konsentrasi Socio-Legal Studies Universitas Indonesia

Menyoal Rancangan Perda Penyelenggaraan Kota Religius Depok

Kompas.com - 24/10/2022, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNCULNYA rencana pengesahan rancangan Peraturan Daerah (Perda) Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius telah menimbulkan polemik di publik.

Secara substansi, perda tersebut berpotensi melanggar konstitusi UUD 1945 dan prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia mengenai hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Selain itu, dinilai tumpang tindih dengan kewenangan absolut Pemerintah Pusat dan melanggar ketentuan UU Pemerintahan Daerah.

Sebelumnya, Pemerintah Kota Depok telah mengajukan permohonan konsultasi kepada Kementerian Dalam Negeri RI dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait draft rancangan Perda.

Namun permohonan tersebut ditolak oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui surat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat No. 408/HK.02.01/Hukham tertanggal 24 Januari 2022.

Adapun yang menjadi dasar penolakan adalah kebijakan terkait isu penyelenggaraan kehidupan umat beragama merupakan kewenangan absolut Pemerintah Pusat, bukan Pemerintah Daerah.

Hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 ayat 1 huruf f UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah termasuk bagian penjelasannya, dan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tidak hanya ditolak oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, rancangan Perda tersebut juga ditolak oleh Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Depok lewat siaran pers maupun beberapa pernyataan publiknya di media massa.

Adapun alasan PCNU Kota Depok menolak rancangan Perda karena secara substansial bersifat inkonstitusional, tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Pusat, dan sama sekali tidak menjawab problem Kota Depok yang lebih urgen pada hari ini, seperti persoalan keamanan lingkungan, kontrol pembangunan, kekerasan anak, dan lainnya.

Wali Kota Depok Mohammad Idris menyatakan bahwa pihaknya tetap bersikukuh keras untuk dapat menggolkan rancangan Perda ini dengan alasan draft Perda sudah selesai disusun dan proses penyusunannya telah menelan biaya sekitar Rp 400 juta.

Selain itu, pihaknya juga akan meminta dukungan Kementerian Agama RI agar rancangan Perda tersebut dapat disahkan sebelum Pemilukada 2024.

Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan

Secara substantif, draft rancangan Perda berpotensi melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan warga Kota Depok.

Ini dapat dilihat dari adanya upaya Pemerintah Kota Depok mengintervensi religiusitas warganya lewat pengaturan mengenai Pembinaan Masyarakat Religius sebagaimana tertera pada Pasal 15 Perda tersebut.

Di sisi lain, religiusitas warga pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang sifatnya privat dan berada di ranah forum internum.

Dalam nomenklatur hukum hak asasi manusia, baik yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik maupun UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ia merupakan suatu kondisi (state of nature) yang melekat pada diri internal manusia, berada di level keyakinan, pemahaman, serta laku religi individu, dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun termasuk Negara.

Aktif atau tidaknya religiusitas warga merupakan bagian dari pilihan individu. Siapapun memiliki kebebasan untuk memilih menjadi religius ataupun tidak tanpa terkecuali.

Dan hal ini merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Dalam prinsip hukum hak asasi manusia internasional, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian dari hak-hak negatif (negative rights), di mana agar hak tersebut dapat dinikmati warga, maka Negara wajib untuk tidak melakukan suatu tindakan atau intervensi terhadap warga mengenai keyakinan dan religiusitasnya (Smith dkk: 2008, hlm. 15).

Saat Negara mengintervensi religiusitas warganya, maka pada dasarnya hal tersebut adalah tindakan pemaksaan terhadap warga yang mengarah pada kesewenang-wenangan.

Pada tindakan intervensi -baik melalui hukum dan kebijakan, secara langsung ataupun tidak langsung- memiliki sifat daya paksa secara hukum maupun sosial, warga dianggap harus patuh, dan warga akan terdampak akibat tindakan intervensi tersebut.

Pemaksaan religiusitas terhadap warga inilah yang kemudian menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, di mana warga tidak lagi bebas untuk menentukan dan memilih status maupun kondisi religiusitasnya.

Padahal secara logika dan moral universal, setiap orang, apa pun identitas agamanya, pada dasarnya tidak mau diintervensi religiusitasnya, karena pada prinsipnya agama adalah soal pilihan dan kesadaran, bukan paksaan.

Saat warga bebas memilih apa yang ingin diyakininya dan bagaimana religiusitasnya tanpa intervensi negara, saat itu pula warga menikmati hak kebebasan beragama dan berkeyakinannya.

Selain berpotensi melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, pemaksaan religiusitas warga oleh Pemerintah Kota Depok lewat Perda berpotensi meningkatkan praktik intoleransi.

Berdasarkan riset yang dirilis oleh Setara Institute pada tahun 2021, Kota Depok telah menyandang gelar ‘Kota Paling Intoleran’ di Indonesia.

Artinya pemaksaan religiusitas warga lewat rancangan Perda Penyelenggaraan Kota Religius justru akan semakin meningkatkan kadar status ‘paling intoleran’ pada Kota Depok.

Favoritisme keagamaan dan runtuhnya semangat republik

Kemunculan Perda-perda maupun usulan rancangan Perda yang mengatur isu keagamaan dan keyakinan di berbagai daerah merupakan fenomena favoritisme keagamaan sekaligus bagian dari menguatnya sektarianisme dan fundamentalisme keagamaan pascareformasi 1998.

Naasnya, ia dilegitimasi oleh institusi Pemerintahan yang seharusnya bersifat imparsial dan berlandaskan pada semangat Republik (Res Publica).

Secara langsung maupun tidak langsung, tindakan favoritisme keagamaan oleh institusi pemerintah telah berdampak pada menguatnya kultur diskriminatif kelompok keagamaan yang dominan di suatu masyarakat.

Dominasi suatu kelompok keagamaan tertentu yang didukung oleh institusi Pemerintah ini berujung pada praktik-praktik peminggiran (marginalisasi) kelompok masyarakat yang memiliki identitas keagamaan lainnya dan meningkatkan segregasi sosial (Ropi: 2017, hlm. 188-194).

Di sisi lain, Negara maupun Pemerintah yang modern, pada dasarnya adalah organisasi masyarakat yang seharusnya berangkat dari cara pikir yang rasional, universal, imparsial, dan berangkat dari semangat mengabdi untuk kepentingan publik (Res Publica) atau semua orang tanpa memandang apapun identitasnya (Cicero: 2014, hlm. 31).

Tujuan dari semangat Res Publica ini tiada lain untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua.

Saat Negara ataupun Pemerintah diokupasi oleh kepentingan kelompok identitas keagamaan tertentu, maka ia tidak lagi menjadi Res Publica, melainkan Res Privata.

Dalam logika Res Privata, maka yang dikejar adalah kepentingan privat semata, dalam hal ini mengejar dan mendapatkan keuntungan bagi individu dan kelompok privat itu semata.

Saat logika Res Privata diselundupkan dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, maka yang terjadi adalah praktik korup dan pengerukan keuntungan untuk kelompok tertentu saja.

Dan draft rancangan Perda Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius menunjukan adanya potensi praktik korup tersebut.

Ini dapat dilihat dari pengaturan anggaran publik (APBD/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang dialokasikan untuk pendanaan penyelenggaraan kota religius.

Selain penggunaan anggaran hanya dinikmati oleh segelintir kelompok saja dan rawan disalahgunakan, juga berpotensi menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan pengelolaan alokasi anggaran keuangan daerah yang seharusnya dan sebaiknya diarahkan untuk mengatasi problem fundamental di Kota Depok, seperti masalah infrastruktur pelayanan publik, ketimpangan kesejahteraan ekonomi warga, amburadulnya tata ruang dan lingkungan hidup, kerusakan jalanan dan infrastruktur publik, dan lainnya.

Rancangan Perda Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius secara normatif-yuridis telah jelas bertentangan dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah, karena isu yang digarap di dalam rancangan Perda bukanlah kewenangan Pemerintah Daerah, melainkan wewenang Pemerintah Pusat.

Sehingga secara prosedural legislasi, rancangan Perda tersebut dapat dikatakan batal secara hukum.

Meski begitu, potensi pengesahan rancangan Perda nampaknya akan tetap ada. Untuk itu Pemerintah Pusat -khususnya Kementerian Dalam Negeri RI- maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pelaksana mandat Undang-undang harus menindak tegas indikasi praktik kesewenang-wenangan berhukum yang dilakukan Pemerintah Kota Depok terkait isu ini, untuk mencegah dampak potensi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia warga Depok akibat pengesahan rancangan Perda tersebut oleh DPRD dan Pemerintah Kota Depok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KSAL: Setelah Jakarta, Program Pesantren Kilat di Kapal Perang Bakal Digelar di Surabaya dan Makasar

KSAL: Setelah Jakarta, Program Pesantren Kilat di Kapal Perang Bakal Digelar di Surabaya dan Makasar

Megapolitan
Masjid Agung Bogor, Simbol Peradaban yang Dinanti Warga Sejak 7 Tahun Lalu

Masjid Agung Bogor, Simbol Peradaban yang Dinanti Warga Sejak 7 Tahun Lalu

Megapolitan
Duduk Perkara Penganiayaan 4 Warga Sipil oleh Oknum TNI di Depan Polres Jakpus

Duduk Perkara Penganiayaan 4 Warga Sipil oleh Oknum TNI di Depan Polres Jakpus

Megapolitan
45 Orang Jadi Korban Penipuan Jual Beli Mobil Bekas Taksi di Bekasi, Kerugian Capai Rp 3 Miliar

45 Orang Jadi Korban Penipuan Jual Beli Mobil Bekas Taksi di Bekasi, Kerugian Capai Rp 3 Miliar

Megapolitan
Telan Anggaran Rp 113 Miliar, Bima Arya Harap Masjid Agung Bogor Jadi Pusat Perekonomian

Telan Anggaran Rp 113 Miliar, Bima Arya Harap Masjid Agung Bogor Jadi Pusat Perekonomian

Megapolitan
Driver Taksi Online Diduga Berniat Culik dan Rampok Barang Penumpangnya

Driver Taksi Online Diduga Berniat Culik dan Rampok Barang Penumpangnya

Megapolitan
TNI AD Usut Peran Oknum Personelnya yang Aniaya 4 Warga Sipil di Jakpus

TNI AD Usut Peran Oknum Personelnya yang Aniaya 4 Warga Sipil di Jakpus

Megapolitan
Polisi Temukan Dua Luka di Kepala Wanita yang Tewas Bersimbah Darah di Bogor

Polisi Temukan Dua Luka di Kepala Wanita yang Tewas Bersimbah Darah di Bogor

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Bogor Ternyata Suaminya Sendiri

Pembunuh Wanita di Bogor Ternyata Suaminya Sendiri

Megapolitan
Diduga Korban Pembunuhan, Wanita di Bogor Ditemukan Tewas Bersimbah Darah

Diduga Korban Pembunuhan, Wanita di Bogor Ditemukan Tewas Bersimbah Darah

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Polisi Hentikan Kasus Aiman Witjaksono | Pengakuan Sopir Truk yang Tabrakan di GT Halim Utama

[POPULER JABODETABEK] Polisi Hentikan Kasus Aiman Witjaksono | Pengakuan Sopir Truk yang Tabrakan di GT Halim Utama

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok: Tengah Malam ini Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok: Tengah Malam ini Cerah Berawan

Megapolitan
Tarif Tol Jakarta-Pekalongan untuk Mudik 2024

Tarif Tol Jakarta-Pekalongan untuk Mudik 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak di Tangerang 29 Maret 2024

Jadwal Imsak di Tangerang 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak di Wilayah Bekasi, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak di Wilayah Bekasi, 29 Maret 2024

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com