JAKARTA, KOMPAS.com - Unsur buruh menolak kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta 2023 yang naik 5,6 persen atau menjadi Rp 4,9 juta.
Presiden Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Saiq Iqbal menyebutkan, kenaikan itu masih di bawah nilai inflasi.
"Kenaikan (UMP) 5,6 persen masih di bawah nilai inflansi. Dengan demikian (Pj) Gubernur DKI tidak punya rasa peduli dan empati pada kaum buruh," kata Said dalam keterangannya, Senin (28/11/2022).
Baca juga: Disnaker Sebut UMP DKI 2023 Naik Jadi Rp 4,9 Juta, tapi Masih Tunggu Finalisasi
Said mengatakan, kenaikan UMP seharusnya sebesar inflansi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi pada tahun berjalan.
Menurut Said, kenaikan UMP DKI sebesar 5,6 persen tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di Ibu Kota.
Sebab, menurut rincian buruh, biaya sewa rumah sudah Rp 900.000. Tansportasi dari rumah ke pabrik (pulang-pergi) dan pada hari libur, bersosialisasi dengan saudara dibutuhkan anggaran Rp 900.000.
Kemudian, makan di warteg tiga kali sehari dengan anggaran Rp 40.000 sekali makan, menghabiskan Rp 1,2 juta sebulan.
Baca juga: Pemprov DKI: Pengusaha Setujui UMP DKI 2023 Naik Jadi Rp 4,9 Juta
Biaya listrik Rp 400.000 dan biaya komunikasi Rp 300.000, sehingga totalnya Rp 3,7 juta.
"Jika upah buruh DKI Rp 4,9 juta dikurangi Rp 3,7 juta hanya sisanya Rp 1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain? Jadi dengan kenaikan 5,6 persen buruh DKI tetap miskin," kata Said.
Buruh mendesak agar UMP DKI direvisi naik menjadi sebesar 10,55 persen sebagai jalan kompromi dari serikat buruh yang sebelumnya mengusulkan kenaikan 13 persen.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.