Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyediakan Rumah Murah Untuk Warga Tak Pernah Mudah Bagi Pemangku Kebijakan Jakarta

Kompas.com - 30/11/2022, 21:41 WIB
Ivany Atina Arbi

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Belakangan ini warga terpapar soal polemik Kampung Susun Bayam yang tak kunjung bisa ditempati oleh warga eks-Kampung Bayam yang tergusur proyek Jakarta Internasional Stadium (JIS).

Persoalan utamanya adalah, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku BUMD pembangun dan operator Kampung Susun Bayam tak kunjung menemukan formulasi tarif sewa yang sesuai dengan kemampuan para calon penghuninya.

Semula Jakpro selaku pembangun dan operator Kampung Susun Bayam mematok harga tarif sewa sebesar Rp 1,5 juta per bulan untuk warga gusuran yang mau menempati rusunawa ini.

Belakangan, Jakpro menurunkan tarif sewa ke kisaran Rp 500.000 - Rp 765.000 per bulan, bergantung dari lokasi unit dan status penghuni.

Baca juga: Saat Jakpro Disebut Tetap Cari Untung dari Korban Gusuran JIS...

Ternyata berdasarkan sejarah, urusan menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga Jakarta telah menjadi beban pikiran para pemimpin daerah sejak era awal kemerdekaan.

Hal tersebut terekam dalam tulisan Historia.id berjudul "Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah" yang ditulis oleh Hendaru Tri Hanggoro, dan dipublikasikan pada 18 April 2018.

Dalam tulisan ini diceritakan, Soewiryo, walikota pertama Jakarta, berhadapan dengan para pemukim liar di sekitar pusat kota.

Para pemukim liar ini tinggal di gubuk-gubuk pengap di atas tanah tak bertuan.

"Gubug-gubug ini lambat laun menjadi bertambah besar sehingga lama-kelamaan menjadi rumah sederhana," kata Soewiryo dalam buku berjudul Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966.

Baca juga: Ingin Segera Huni Kampung Susun Bayam, Korban Gusuran: Biar Tenang Cari Uang buat Bayar Sewa

Para penghuni gubuk-gubuk tersebut tak terdaftar dalam catatan kependudukan. Begitu pula dengan tanah yang ditempatinya.

Soewiryo bertekad membereskan keruwetan ini. Ia mengupayakan relokasi pemukim liar dan mendata ulang kepemilikan tanah.

Sayangnya, tentara sekutu keburu datang ke Jakarta dalam tajuk Agresi Militer Belanda I dan II.

Kedatangan Belnda menciptakan dua kepemimpinan di Jakarta. Gerak Soewiryo terbatas, hingga pada Juli 1947 walikota pertama Jakarta ditangkap sehingga program relokasi pun terbengkalai

Giliran orang Belanda mengatur Jakarta, persoalan menyediaakan rumah murah layak hini bagi warga kota terwariskan kepada mereka.

Baca juga: Korban Gusuran Kampung Bayam Minta Pindah ke Rusun, Jakpro: Tak Semudah Itu, BUMD Harus Untung

Padahal selain warga kota, banyak juga pejabat militer Belanda yang mesti disediakan rumah. Akhirnya pembesar Belanda di Jakarta pun kelimpungan.

Para pembesar Belanda di Jakarta pada akhirnya tak terbebani urusan menyediakan rumah warga terlalu lama karena mereka mesti angkat kaki usai pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949.

Soewiryo kembali memimpin Jakarta. Namun hingga ahir masa tugasnya pada Mei 1951, Soewiryo hanya mampu menyelesaikan pendataan kepemilikan tanah liar tanpa merumuskan program perumahan.

Selanjutnya, Sjamsuridjal pengganti Soewiryo, bertekad menyelesaikan tiga persoalan utama warga di Jakarta yakni pembagian aliran listrik, penambahan air minum, dan urusan tanah.

Meski tak menyebut urusan rumah sebagai pokok masalah Jakarta, Sjamsuridjal tetap peduli pada kewajiban menyediakan rumah.

Baca juga: Ciliwung Merdeka Sebut Pemindahan Korban Gusuran ke Rusun Hanya Propaganda Politik

"Di dalam mencukupi kebutuhan perumahan rakyat direncanakan pendirian kampung baru di tiga tempat masing-masing Bendungan Ilir, Karet Pasar Baru, Jembatan Duren, yang akan menampung 33.000 orang," kata Sjamsuridjal dalam Karya Jaya.

Sjamsuridjal juga menyediakan rumah darurat untuk golongan kecil seperti tungkal becak dan penjual makanan.

Upaya Sjamsuridjal menyediakan rumah untuk warga Jakarta berhenti pada November 1953 setelah dia tak lagi menjabat walikota.

Urusan menyediakan rumah untuk warga Jakarta beralih kepada Soediro yang menjabat pada periode 1953-1960.

Soediro mengatakan dalam Karya Jaya bahwa urusan menyediakan rumah sebagai beban moril yang tidak ringan.

Baca juga: Riwayat Kampung Susun Kunir: Pernah Digusur Ahok hingga Dibangun Kembali oleh Anies untuk Korban Gusuran

Di saat kantong pemerintahan kotapraja sedang kempes-kempesnya, Soediro harus mengupayakan rumah bagi puluhan ribu manusia yang bergelandangan.

Soediro membuat program rumah pertamanya untuk kaum buruh di Grogol pada 1953. Jumlah rumah mencapai 2.800 unit dan para buruh bisa mencicil rumah tersebut selama 20 tahun.

Dari cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa penyediaan perumahan atau permukiman untuk warga adalah masalah akut di Jakarta yang sudah terjadi sejak awal periode kemerdekaan hingga saat ini.

(Historia.id: Hendaru Tri Hanggoro | Kompas.com: Zintan Prihatini)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

April Puncak Kasus DBD, 14 Pasien Masih Dirawat di RSUD Tamansari

April Puncak Kasus DBD, 14 Pasien Masih Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Bakal Diusung Jadi Cawalkot Depok, Imam Budi Hartono Harap PKS Bisa Menang Kelima Kalinya

Bakal Diusung Jadi Cawalkot Depok, Imam Budi Hartono Harap PKS Bisa Menang Kelima Kalinya

Megapolitan
“Curi Start” Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura Pakai Foto Editan

“Curi Start” Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura Pakai Foto Editan

Megapolitan
Stok Darah Bulan Ini Menipis, PMI Jakbar Minta Masyarakat Berdonasi untuk Antisipasi DBD

Stok Darah Bulan Ini Menipis, PMI Jakbar Minta Masyarakat Berdonasi untuk Antisipasi DBD

Megapolitan
Trauma, Pelajar yang Lihat Pria Pamer Alat Vital di Jalan Yos Sudarso Tak Berani Pulang Sendiri

Trauma, Pelajar yang Lihat Pria Pamer Alat Vital di Jalan Yos Sudarso Tak Berani Pulang Sendiri

Megapolitan
Seorang Pria Pamer Alat Vital di Depan Pelajar yang Tunggu Bus di Jakut

Seorang Pria Pamer Alat Vital di Depan Pelajar yang Tunggu Bus di Jakut

Megapolitan
Nasib Tragis Bocah 7 Tahun di Tangerang, Dibunuh Tante Sendiri karena Dendam Masalah Uang

Nasib Tragis Bocah 7 Tahun di Tangerang, Dibunuh Tante Sendiri karena Dendam Masalah Uang

Megapolitan
Resmi, Imam Budi Hartono Bakal Diusung PKS Jadi Calon Wali Kota Depok

Resmi, Imam Budi Hartono Bakal Diusung PKS Jadi Calon Wali Kota Depok

Megapolitan
Menguatnya Sinyal Koalisi di Pilkada Bogor 2024..

Menguatnya Sinyal Koalisi di Pilkada Bogor 2024..

Megapolitan
Berkoalisi dengan Gerindra di Pilkada Bogor, PKB: Ini Cinta Lama Bersemi Kembali

Berkoalisi dengan Gerindra di Pilkada Bogor, PKB: Ini Cinta Lama Bersemi Kembali

Megapolitan
Pedagang Maju Mundur Jual Foto Prabowo-Gibran, Ada yang Curi 'Start' dan Ragu-ragu

Pedagang Maju Mundur Jual Foto Prabowo-Gibran, Ada yang Curi "Start" dan Ragu-ragu

Megapolitan
Pagi Ini, Lima RT di Jakarta Terendam Banjir akibat Hujan dan Luapan Kali

Pagi Ini, Lima RT di Jakarta Terendam Banjir akibat Hujan dan Luapan Kali

Megapolitan
Cek Psikologi Korban Pencabulan Ayah Tiri, Polisi Gandeng UPTP3A

Cek Psikologi Korban Pencabulan Ayah Tiri, Polisi Gandeng UPTP3A

Megapolitan
Hampir Lukai Warga dan Kakaknya, ODGJ di Cengkareng Dievakuasi Dinsos

Hampir Lukai Warga dan Kakaknya, ODGJ di Cengkareng Dievakuasi Dinsos

Megapolitan
Saat Pedagang Kecil Jaga Marwah Kebangsaan, Belum Jual Foto Prabowo-Gibran meski Sudah Jadi Pemenang

Saat Pedagang Kecil Jaga Marwah Kebangsaan, Belum Jual Foto Prabowo-Gibran meski Sudah Jadi Pemenang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com