JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno, tidak mempermasalahkan soal adanya pembedaan tarif kereta rel listrik (KRL) Commuter Line berdasarkan kelompok tertentu.
Pasalnya, kata Djoko, layanan transportasi umum seperti Bus Trans Jateng dan Bus Trans Semarang sudah memberlakukan pembedaan tarif untuk kelompok umum, pelajar, mahasiswa, buruh, dan lansia.
"Hingga sekarang cukup lancar dan tidak bermasalah. Malahan, buruh merasa terbantu dengan tarif khusus itu. Dapat mengurangi pengeluaran ongkos transportasi untuk bekerja," tutur Djoko dalam penjelasannya kepada Kompas.com, Rabu (4/1/2022).
Baca juga: Soal Penyesuaian Tarif KRL bagi Orang Kaya, MTI Nilai Lebih Baik Bedakan Ongkos pada Akhir Pekan
Namun, Djoko menilai kebijakan itu seharusnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan porsi biaya transportasi masyarakat terhadap pendapatan mereka.
Djoko menyebutkan, ongkos naik KRL Jabodetabek saat ini memang murah. Namun, kata dia, biaya perjalanan layanan transportasi dari tempat tinggal ke stasiun (first mile) dan layanan transportasi dari stasiun ke tempat tujuan (last mile) masih lebih mahal.
Menurut Djoko, hal yang perlu diperhitungkan itu adalah ongkos total perjalan dari rumah hingga ke tempat tujuan tidak lebih dari 10 persen penghasilan bulanan.
Mengutip dari Policy Research Working Paper 4440 World Bank, Djoko mengatakan belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10 persen dari upah bulanannya.
Kajian World Bank itu berdasarkan riset dari negara-negara di Amerika Latin dan negara di Kepulauan Karibia 2007.
Berdasarkan survey Badan Litbang Perhubungan 2013, ketika ditetapkan tarif KRL Jabodetabek satu harga dan murah, total ongkos transportasi yang dikeluarkan pengguna kereta masih 32 persen dari pendapatan bulanan.
Pada saat itu, memang layanan transportasi last mile belum sebaik sekarang. Sekarang setiap stasiun KRL yang berada di Jakarta sudah terintegrasi dengan bus Transjakarta dan JakLingko.
"Namun layanan transportasi first mile belum banyak perubahan dan cenderung angkutan ke stasiun makin berkurang jumlahnya. Belum ada perbaikan yang berarti," kata Djoko.
Saat ini, kata Djoko, baru ada Bus Trans Pakuan di Bogor dan Bus Tayo di Tangerang. Ia mendorong adanya transportasi umum seperti di Bogor dan Tangerang untuk di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kota Tangerang Selatan.
"Kita jangan fokus hanya pada tarif KRL Jabodetabek, namun bagaimana kita merancang ongkos transportasi warga bisa kurang dari 10 persen dari pendapatan bulanan," kata Djoko.
Baca juga: Kritik Tarif KRL Lebih Mahal bagi Orang Kaya, Pengamat: Penentuan Indikatornya Akan Bermasalah
Pasalnya, kata Djoko, Perancis dan Singapura sudah bisa menekan hingga 3 persen, sedangkan Cina sudah 7 persen dari pendapatan bulanan masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan akan ada penyesuaian pada tarif KRL Commuter Line untuk orang-orang kaya agar subsidi bisa tepat guna.
Untuk keperluan penyesuaian tersebut Pemerintah berencana menggunakan data Kemendagri atau data terpadu di Kementerian Sosial dan menerbitkan kartu baru yang diterbitkan untuk membedakan profil para penumpang KRL.
Seperti diketahui, kontrak public service obligation (PSO) untuk KRL Jabodetabek pada 2022 sebesar Rp 1,8 triliun. Pada 2023, angka ini menurun menjadi Rp 1,6 triliun.
Adapun total PSO pada 2022 sebesar Rp 2,8 triliun, turun di tahun ini menjadi Rp 2,5 triliun. Dengan demikian, sebanyak 64 persen dari nilai total PSO perkeretaapian diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.