JAKARTA, KOMPAS.com - Laut menjadi tempat bagi nelayan maupun anak buah kapal (ABK) untuk mencari pundi-pundi rupiah.
Di lautanlah salah satu nelayan di Kalibaru, Jakarta Utara, bernama Watin (65) mengadu nasibnya.
Menjadi nelayan sejak usia muda, Watin mengikuti jejak orangtuanya.
Pria asal Indramayu, Jawa Barat, itu mengaku sudah mengenal aroma lautan ketika menginjak usia 8 tahun.
"Saya dari dulu, dari kecil jadi nelayan. Dari usia 8 tahun dibawa-bawa sama orangtua sampai sekarang udah punya cucu, cicit sampai sekarang ini jadi nelayan," kata Watin saat ditemui Kompas.com di dermaga Kalibaru, Rabu (11/1/2023).
Baca juga: Tanggul Pantai Kalibaru Selesai Dibangun, Nelayan: Jadi Aman dan Enggak Becek
Watin mengingat-ingat kembali alasannya banting tulang di laut lepas. Sesekali ia tampak mengisap rokok yang di tangan kirinya.
Watin mengikuti profesi orangtuanya yang seorang nelayan karena dia hanya mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar.
Di usia yang baru 8 tahun, Watin putus sekolah. Sejak saat itulah, dia memantapkan diri untuk berlayar hingga menetap di Ibu Kota.
"Kalau kerja kantoran kan harus berpendidikan. Sekarang kalau enggak berpendidikan repot, enggak ada ijazah. Sekolah sih dulu terakhir SD kelas satu," ucap Watin.
Pada akhirnya, masa muda Watin pun hanya dihabiskan untuk mencari rezeki di tengah laut Jakarta.
"Saya enggak kerja di kantor, enggak kemana-mana ya di sini aja jadi nelayan," tuturnya.
Baca juga: Nelayan yang Beraktivitas di Laut Jakarta Jadi Kendala Pembangunan Tanggul Pantai
Adapun Watin bersama nelayan lain biasanya memancing ikan di laut lepas.
Selama sekitar 10-12 hari, mereka memancing beragam jenis tangkapan laut untuk dijual ke pelelangan.
Bagi Watin, kebahagiaan menjadi nelayan ialah saat dia mendapat banyak tangkapan laut.
"Senangnya kalau ada hasil, saya selamat dan sehat sampai rumah setelah melaut. Kalau ada musimnya ya lumayan juga bisa dapat Rp 2 juta sekali berlayar," ujarnya.
Sebaliknya, ketika cuaca ekstrem dan ombak di laut besar, maka para nelayan tak bisa mencari ikan. Imbasnya, Watin hanya bisa gigit jari lantaran tidak dapat melaut.
"Sedihnya jadi nelayan nih kalo udah begini, eggak berangkat enggak ada hasil kan orang harus beli beras, harus ada uang kalau enggak ada modal ya akal-akalan kita aja nyari uang," ungkap Watin.
Kini, Watin tetap merasa bersyukur karena uang hasil melaut bisa menghidupi istri beserta cucunya yang berada di Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.