SEAKAN memanfaatkan momentum transisi kepemimpinan daerah yang saat ini sedang diemban oleh penjabat (pj) gubernur, pemerintah daerah DKI Jakarta mengambil langkah tak gentar dan tak populis untuk mengatasi kemacetan kronis di Jakarta.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menerapkan sistem jalan berbayar elektronik alias electronic road pricing (ERP).
Peraturan soal sistem ERP tercantum dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE) yang masih disusun oleh DPRD DKI Jakarta.
Berdasarkan Raperda PLLE tersebut, ERP akan diterapkan setiap hari mulai pukul 05.00 WIB-22.00 WIB.
Usulan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, pengendara kendaraan yang melewati ERP akan dikenai tarif Rp 5.000-Rp 19.000.
Dalam Raperda PLLE, ERP akan diterapkan di 25 ruas jalan di Ibu Kota. Tentu saja, kebijakan-kebijakan yang tidak populer seperti berpotensi mendapatkan pertentangan dari masyarakat (Kompas.com, 13/01).
Sebenarnya, ide dasar pemikiran jalan berbayar murni muncul dari kemacetan yang terjadi akibat membludaknya jumlah warga yang menggunakan moda transportasi pribadi, dan tidak menggunakan angkutan umum.
Selain itu, jalan berbayar dipromosikan secara luas karena efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan kualitas udara, dan meningkatkan pendapatan daerah untuk sistem transportasi.
Melihat implementasinya, beberapa contoh keberhasilan jalan berbayar dan disertai dengan sistem angkutan umum yang memadai dapat dilihat di kota-kota seperti Singapura, New York, London, dan Stockholm.
Selain itu, kasus-kasus yang berhasil sistem electronic road pricing (ERP) di Singapura, telah dipelajari secara ekstensif untuk direplikasi dan diimplementasikan di wilayah lain, walaupun penyesuaian lebih lanjut diperlukan untuk beradaptasi dengan kasus kontekstual yang berbeda (Vonk Noordegraaf, 2014).
Dampak yang diproyeksikan dari kebijakan jalan berbayar setidaknya mengurangi dua puluh persen mobilitas perjalanan di jam-jam sibuk. Hal ini karena kebijakan jalan berbayar tentu akan memengaruhi perilaku pengguna jalan dalam memilih moda transportasi pengguna jalan.
Untuk itu, ERP harus dipersiapkan secara matang termasuk memberikan alternatif solusi transportasi yang tepat bagi masyarakat pada umumnya untuk meminimalkan kegagalan.
Kegagalan kebijakan ERP biasanya diakibatkan oleh ketidakpastian yang terkait dengan efektivitas jalan berbayar, kurangnya informasi tentang ERP, privasi terkait keamanan informasi pribadi dalam implementasi ERP, dan kewajaran skenario ERP (Kim et al., 2013)
Namun, dalam beberapa studi teranyar, kekhawatiran terbesar publik sebenarnya fokus pada alokasi pendapatan ERP. Masyarakat khawatir alokasi pendapatan justru tidak dikembalikan dalam bentuk peningkatan fasilitas angkutan umum dan peningkatan keselamatan lalu lintas.
Ini yang membuat kebijakan ERP sering sekali menghadapi reaksi keras dari publik.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.