Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Kebijakan Tak Gentar Jalan Berbayar

Kompas.com - 15/01/2023, 11:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEAKAN memanfaatkan momentum transisi kepemimpinan daerah yang saat ini sedang diemban oleh penjabat (pj) gubernur, pemerintah daerah DKI Jakarta mengambil langkah tak gentar dan tak populis untuk mengatasi kemacetan kronis di Jakarta.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menerapkan sistem jalan berbayar elektronik alias electronic road pricing (ERP).

Peraturan soal sistem ERP tercantum dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE) yang masih disusun oleh DPRD DKI Jakarta.

Berdasarkan Raperda PLLE tersebut, ERP akan diterapkan setiap hari mulai pukul 05.00 WIB-22.00 WIB.

Usulan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, pengendara kendaraan yang melewati ERP akan dikenai tarif Rp 5.000-Rp 19.000.

Dalam Raperda PLLE, ERP akan diterapkan di 25 ruas jalan di Ibu Kota. Tentu saja, kebijakan-kebijakan yang tidak populer seperti berpotensi mendapatkan pertentangan dari masyarakat (Kompas.com, 13/01).

Sebenarnya, ide dasar pemikiran jalan berbayar murni muncul dari kemacetan yang terjadi akibat membludaknya jumlah warga yang menggunakan moda transportasi pribadi, dan tidak menggunakan angkutan umum.

Selain itu, jalan berbayar dipromosikan secara luas karena efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan kualitas udara, dan meningkatkan pendapatan daerah untuk sistem transportasi.

Melihat implementasinya, beberapa contoh keberhasilan jalan berbayar dan disertai dengan sistem angkutan umum yang memadai dapat dilihat di kota-kota seperti Singapura, New York, London, dan Stockholm.

Selain itu, kasus-kasus yang berhasil sistem electronic road pricing (ERP) di Singapura, telah dipelajari secara ekstensif untuk direplikasi dan diimplementasikan di wilayah lain, walaupun penyesuaian lebih lanjut diperlukan untuk beradaptasi dengan kasus kontekstual yang berbeda (Vonk Noordegraaf, 2014).

Dampak yang diproyeksikan dari kebijakan jalan berbayar setidaknya mengurangi dua puluh persen mobilitas perjalanan di jam-jam sibuk. Hal ini karena kebijakan jalan berbayar tentu akan memengaruhi perilaku pengguna jalan dalam memilih moda transportasi pengguna jalan.

Untuk itu, ERP harus dipersiapkan secara matang termasuk memberikan alternatif solusi transportasi yang tepat bagi masyarakat pada umumnya untuk meminimalkan kegagalan.

Kegagalan kebijakan ERP biasanya diakibatkan oleh ketidakpastian yang terkait dengan efektivitas jalan berbayar, kurangnya informasi tentang ERP, privasi terkait keamanan informasi pribadi dalam implementasi ERP, dan kewajaran skenario ERP (Kim et al., 2013)

Namun, dalam beberapa studi teranyar, kekhawatiran terbesar publik sebenarnya fokus pada alokasi pendapatan ERP. Masyarakat khawatir alokasi pendapatan justru tidak dikembalikan dalam bentuk peningkatan fasilitas angkutan umum dan peningkatan keselamatan lalu lintas.

Ini yang membuat kebijakan ERP sering sekali menghadapi reaksi keras dari publik.

Kegagalan pemerintah untuk menyampaikan proposal yang dapat dipahami publik akan menimbulkan konsekuensi negatif dalam implementasi ERP.

Kita lihat sejarah implementasi ERP Hong Kong yang mengembangkan skema ERP pertama di dunia pada tahun 1983. Meski Hong Kong berhasil memecahkan masalah teknologi untuk implementasi ERP, reaksi publik tetap bertentangan dengan optimisme pemerintah.

Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat yang komprehensif tentang pungutan kemacetan memegang peranan penting dalam diterima atau tidaknya skema tersebut.

Pemahaman masyarakat tidak hanya mencakup apa dan di mana pungutan kemacetan tersebut akan diterapkan, tetapi juga terkait dengan pengelolaan skema pungutan, termasuk aspek yang paling sering dibahas, yaitu alokasi pendapatan.

Publik lebih setuju jika pendapatan ERP dialokasikan untuk kebijakan lain yang dapat meningkatkan kualitas lalu lintas dan angkutan umum.

Maka, mekanisme ERP dan alokasi pendapatan selayaknya harus diinformasikan secara menyeluruh dan transparan kepada publik, termasuk rencana uji coba, alternatif lain, sumber pendanaan, besaran subsidi pemerintah, dan lainnya.

Selain itu, ERP biasanya tidak berlaku untuk pengguna sepeda motor, meskipun pemerintah masih mempertimbangkan penerapan kebijakan tersebut untuk pengguna sepeda motor di Jakarta (Nailufar, 2018).

Apakah publik tahu tentang rencana itu, maka perlu riset lebih lanjut. Lalu, ada juga yang menyarankan bahwa dalam skema ERP sebaiknya mewajibkan semua pengguna jalan untuk dikenakan kebijakan tersebut (Schaller, 2010).

Namun, pemerintah harus benar-benar mampu meyakinkan para pengguna jalan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan dari skema tersebut.

Jangan sampai kebijakan ERP justru gagal dan memicu masalah-masalah baru yang pada akhirnya menimbulkan biaya yang lebih mahal dari kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Megapolitan
Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Megapolitan
Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Megapolitan
Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Megapolitan
Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Megapolitan
Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Megapolitan
Disdukcapil DKI Bakal Pakai 'SMS Blast' untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Disdukcapil DKI Bakal Pakai "SMS Blast" untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Megapolitan
Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Megapolitan
Warga Rusunawa Muara Baru Keluhkan Biaya Sewa yang Naik

Warga Rusunawa Muara Baru Keluhkan Biaya Sewa yang Naik

Megapolitan
8.112 NIK di Jaksel Telah Diusulkan ke Kemendagri untuk Dinonaktifkan

8.112 NIK di Jaksel Telah Diusulkan ke Kemendagri untuk Dinonaktifkan

Megapolitan
Heru Budi Bertolak ke Jepang Bareng Menhub, Jalin Kerja Sama untuk Pembangunan Jakarta Berkonsep TOD

Heru Budi Bertolak ke Jepang Bareng Menhub, Jalin Kerja Sama untuk Pembangunan Jakarta Berkonsep TOD

Megapolitan
Mau Maju Jadi Cawalkot Bogor, Wakil Ketua DPRD Singgung Program Usulannya Tak Pernah Terealisasi

Mau Maju Jadi Cawalkot Bogor, Wakil Ketua DPRD Singgung Program Usulannya Tak Pernah Terealisasi

Megapolitan
Seorang Anggota TNI Meninggal Tersambar Petir di Cilangkap, Telinga Korban Pendarahan

Seorang Anggota TNI Meninggal Tersambar Petir di Cilangkap, Telinga Korban Pendarahan

Megapolitan
Harga Bawang Merah di Pasar Senen Blok III Naik Dua Kali Lipat sejak Lebaran

Harga Bawang Merah di Pasar Senen Blok III Naik Dua Kali Lipat sejak Lebaran

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com