AWAL tahun ini kembali ramai diperbincangkan ERP (electronic road pricing) atau jalan berbayar yang akan diberlakukan di Jakarta.
Masyarakat masih heran dan bertanya-tanya mengapa jalan raya berbayar, bukan jalan tol tetapi kenapa harus bayar, pajak kendaraan sudah dibayar tahunan dengan pajak kendaraan bermotor (PKB), mengapa harus bayar lagi.
Masih seputar itu pertanyaannya, yang tak jarang menyalahkan pemerintah bahwa dengan adanya ERP itu dianggap merampas keleluasaan/kemerdekaan berkendara di jalan.
Dengan adanya kenyataan seperti ini, memang diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih dalam kepada semua lapisan masyarakat. Artinya tugas Pemda DKI Jakarta masih banyak karena perlu waktu lama untuk menyosialisasikan ERP.
Baca juga: Sebelum Terapkan ERP, Pemprov DKI Diminta Tingkatkan Layanan Transportasi Umum Dulu
Sebenarnya sejak 2015 telah diprogramkan ERP untuk mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Di ruas Jalan Rasuna Said dan Jalan Sudirman pernah diujicobakan. Namun karena regulasi ERP atau jalan raya berbayar belum ada, maka implementasi jalan raya berbayar itu jadi sulit karena investor masih ragu-ragu berinvestasi ERP.
Persoalan itu sangat berbeda dengan jalan tol (ETC/electronic toll collection) yang telah banyak aturan regulasinya, investasi jalan tol pun tumbuh subur.
Untuk masyarakat:
Untuk Pengguna Jalan:
Untuk Pemerintah:
ERP merupakan bagian dari konsep smart city dan smart driving. ERP sebagai dasar kota cerdas tanpa kemacetan jalan akut dan pengendara/pengguna jalan cerdas akan mampu memilih moda apa yang akan digunakan untuk bermobilitas menuju tujuannya.
Azas kemanfaatan ERP sudah sangat jelas bahwa ERP bukan untuk mencari profit semata tetapi untuk benefit secara makro. ERP digunakan untuk menekan kerugian akibat kemacetan lalu lintas.
Estimasi kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jabodetabek, menurut Bank Dunia tahun 2019 mencapai Rp 42,4 triliun per tahun. Hanya dari kerugian waktu tempuh dan penggunaan BBM.
Baca juga: Pastikan Sistem ERP Akan Diterapkan, Heru Budi: Kalau Enggak Dimulai, Kapan Lagi
Semantara berdasarkan kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan tahun 2021, kemacetan yang terjadi di daerah terpadat di Indonesia, Jabodetabek, mengakibatkan kerugian ekonomi Rp 71,4 triliun per tahun. Jadi ada peningkatan kerugian akibat kemacetan dari tahun ke tahun.
Negara terdekat yang menggunakan ERP adalah Singapura. Negara Asia lainnya adalah Taiwan.
Sistem itu juga telah diterapkan antara lain di Eropa Barat adalah London (Inggris), Berlin, Hamburg, Munich (Jerman), Stockholm (Swedia), Brussel (Belgia), Oslo (Denmark), Milan (Italy), San Diego, California (AS).
Istilah ERP digunakan di Singapura. Di negara lain sebutanya berbeda-beda, seperti congestion pricing, congestion charging, cordon pricing, cordon charges, congestion zones, area pricing, go zones. Kalau di Indonesia popular ERP itu karena menduplikasi negeri tetangga Singapura yang terlebih dahulu menggunakan terminologi ERP.
Untuk terminologi ERP sendiri di Indonesia masih digodok untuk mencari nomenklatur yang pas dan tepat.
Jalan berbayar elektronik (JBE) barangkali dapat ditetapkan menjadi nomenklatur di rancangan peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta.
Publik mayoritas masih bertanya-tanya, “makhluk apakah ERP” ini, karena masih minimnya sosialisasi dan edukasi ERP tentunya masih banyak yang kontra.
ERP adalah sistem yang dikembangkan untuk pembatasan kendaraan pribadi yang merupakan turunan dari manajemen permintaan perjalanan (transport demand management/TDM).
JBE atau dikenal sebagai congestion charging adalah suatu metode rekayasa lalu lintas, yang bertujuan untuk mengurangi permintaan penggunaan jalan sampai kepada suatu titik pada permintaan penggunaan jalan tidak lagi melampui kapasitas jalan.
ERP sendiri menjadi bagian dari TDM dalam konsep push & pull yang menekan penggunaan kendaraan pribadi dan menariknya menggunakan angkutan umum massal (angkutan berbasis jalan dan berbasis rel).
ERP dapat efektif menekan penggunaan kendaraan pribadi di samping tarif parkir mahal atau pajak kendaraan bermotor yang mahal.
Bila kita pakai kajian JUTPI 2018 mode share angkutan di Jabodetabek hanya berkisar 9 persen, artinya 91 persen adalah pengguna kendaraan pribadi.
Idealnya mode share 50 persen pengguna angkutan umum dan 50 persen kendaraan pribadi. Jadi memang harus berimbang antara membatasi kendaraan pribadi dan penyediaan angkutan umum massal yang lebih banyak.
Rekayasa lalu lintas dengan nomor polisi (nopol) ganjil-genap terbukti tidak dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Kenyataan ini bisa terjadi bila satu orang dapat memiliki dua mobil dengan nomor polisi ganjil dan genap atau satu mobil dengan dua nomor polisi ganjil dan genap.
Jadi volume kendaraan yang berjalan tetap sama. Harapannya dengan adanya ERP akan lebih adil karena berapa empunya kendaraan yang memasuki zona ERP tetap akan bayar semua.
Rencananya ERP di DKI Jakarta juga akan diterapkan untuk sepeda motor. Rencana ini juga adil karena bila hanya mobil yang kena ERP, pemilik mobil akan bermigrasi menggunakan sepeda motor sehingga DKI akan menjadi lautan sepeda motor.
Publik juga masih bertanya untuk apa uang dari ERP, karena pemilik kendaraan sudah membayar pajak setiap tahun.
Pendapatan ERP sebagai biaya kemacetan jalan (congestion cost) yang akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai social cost untuk penyediaan/perawatan fasilitas umum termasuk penyediaan/perawatan sarana dan prasarana angkutan umum.
Perolehan dana ERP dapat menjadi pengganti biaya sosial, dapat dikonversi melalui skema subsidi bagi yang tidak mampu atau insentif bagi yang mampu untuk PSO angkutan umum.
Artinya, bagi masyarakat yang membikin kemacetan jalan karena menggunakan kendaraan pribadi akan dikenakan pungutan kemacetan (congestion charge), jadi bukan pajak lagi.
Hasil kajian Dishub DKI Jakarta untuk ability to pay (ATP) willingness to pay (WTP) atau kemampuan/kemauan bayar tarif ERP berkisar antara Rp 5.000 - Rp 19.000. Tarif tersebut masih sangat murah kendati tarif ERP akan fluktuatif berdasarkan kepadatan jalan per jam (satuan mobil per jam/SMP).
Bila jalan zona ERP volume kendaraanya padat (macet) maka tarif akan mahal, sedangkan bila lalu lintas zona ERP normal maka tarif ERP normal.
Mengapa kajian tarif ERP masih sangat murah? Karena dulu ketika masih diberlakukan rekayasa 3 in 1 penumpang mobil, para pemilik mobil mampu membayar Rp 20.000 joki 3 in 1 setiap harinya.
Sejatinya juga tidak tepat bila diadakan kajian ATP/WTP untuk tarif ERP, karena masyarakat pasti akan memilih tarif termurah.
Sementara kebijakan ERP adalah hukum TDM “push” untuk membatasi kendaraan pribadi maka tarif ERP merupakan kewajiban membayar pungutan kemacetan (congestion charge) harus mahal bukan seperti tarif murah untuk menggunakan angkutan umum.
Lebih tepat kajian untuk tarif ERP adalah ATP saja atau kemampuan bayar tarif ERP sesuai gajinya atau sesuai laporannya pajaknya.
Sejarahnya tidak ada kajian WTP (kemauan bayar) terlebih dahulu untuk mencari nilai kewajiban pungutan pajak (ppn/pph). Bila nantinya masih ada kontra karena tarif ERP mahal, maka gunakanlah angkutan umum yang pasti murah/tarif sangat terjangkau.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.