Sekali mengisi, setidaknya warga harus membayar antara Rp 3.000-Rp 20.000 bergantung pada wadah yang diisi air.
"Banyak keluh-kesahnya tinggal di sini, enggak cuman susah kalau cuaca buruk tapi juga air kurang layak dan harus beli di tangki," ucap Fadilah.
Baca juga: Krisis Air Bersih di Kampung Apung Muara Baru, Warga: Bisa 3 Hari Enggak Mandi
Berdasarkan pantauan di lokasi, air yang didapatkan warga tampak keruh.
Mereka biasanya menaruh air itu di drum dan jeriken plastik. Tak jarang, krisis air bersih ini memaksa warga untuk mengirit penggunaan air.
Kendati begitu, Fadilah bersama suami dan tiga cucunya memilih untuk menetap di rumah apung mereka lantaran jaraknya yang lebih dekat dengan laut.
Dengan begitu, perjalanan untuk mencari ikan jadi lebih dekat.
"Saya milih bertahan ya karena udah pencariannya begini, jadi nelayan. Saya kan hanya ngandelin suami yang nelayan," tuturnya diiringi tawa ringan.
Baca juga: Menengok Kampung Apung di Muara Baru yang Penuh Sampah dan Berbau Busuk
Fadilah mengaku sudah 25 tahun tinggal di Kampung Pojok yang berada di sisi Teluk Jakarta.
Dia adalah salah satu penghuni pertama sejak kampung apung ini didirikan dengan bambu dan papan seadanya.
Fadilah menyampaikan, lantaran air merendam bambu dan kayu yang menjadi fondasi, tak jarang rumah di kampung itu roboh.
"Ada rumah yang roboh, pemiliknya lagi duduk langsung roboh. Ini kan juga baru dibangun," pungkas Fadilah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.