GAGASAN penerapan ERP (eletronic road pricing) atau jalan berbayar di Jakarta bisa dimaklumi karena rendahnya jumlah perpindahan pengguna kendaraan pribadi yang menjadi pengguna angkutan umum.
Dengan asumsi banyak pengendara kendaraan pribadi enggan berpindah ke angkutan umum, maka pengguna kendaraan pribadi mesti diberi “sanksi” berupa jalan berbayar dan hal ini dianggap sebagai retribusi atas peran pengendara kendaraan pribadi atas macetnya jalan raya.
Kemacetan lalu lintas menimbulkan banyak dampak negatif seperti polusi, pemborosan bahan bakar minyak (BBM), waktu terbuang percuma sehingga produktivitas menurun, kualitas barang menurun karena lama dalam perjalanan. Keengganan pengendara kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum menimbulkan masalah pada sektor lain.
Baca juga: Adakah yang Diuntungkan dari Kebijakan Jalan Berbayar di Jakarta?
Namun, benarkah pengendara kendaraan pribadi tidak berpindah ke angkutan umum karena enggan? Jangan-jangan aksesibilitas angkutan umumnya yang belum memadai? Misalnya, apakah tempat tinggal dan tempat bekerja mereka terhubung oleh angkutan umum? Apakah tersedia halte untuk mengakses angkutan umum? Apakah perjalanan dari halte bisa diakses dengan trotoar memadai menuju ke tujuan?
Tidak ada jawaban berdasarkan data untuk semua pertanyaan itu. Dari berbagai dokumen yang ada, semuanya terlihat hanya “asumsi” tanpa identifikasi data. Cenderung menyajikan fakta di tempat lain dan expert judgment (penilaian ahli).
Bagaimana kondisi riil di Jakarta? Masih belum terlihat dalam database akademik yang bisa didiskusikan. Setidaknya itu yang saya lihat dari sekian banyak dokumen yang ada terkait dengan kajian dan telaah ERP di Jakarta.
Soal lainnya, apakah pengendara kendaraan pribadi yang melintasi ruas jalan yang macet merupakan orang/kendaraan yang sama atau berbeda-beda? Mengapa hal ini perlu dicek. Jika kendaraan pribadinya sama, itu artinya kendaraan tersebut melintasi jalan macet itu karena tempat kegiatannya berada di koridor jalan tersebut atau di ujung jalan yang selalu macet tersebut.
Karena mereka sudah difasilitasi jaringan angkutan umum, misalnya, dari tempat tinggalnya ke tempat bekerjanya, maka bisa saja mereka diberi kewajiban untuk membayar retribusi jalan berbayar (congestion pricing). “Keengganan” pengendara itu untuk menggunakan angkutan umum telah menimbulkan kemacetan lalu lintas yang implikasinya macam-macam. Padahal mereka sudah diberi akses angkutan umum yang memadai.
Jika orang/kendaraan yang melintasi jalan tersebut adalah orang/kendaraan yang berbeda-beda, itu artinya mereka hanyalah pelintas jalan raya tersebut. Tujuan mereka sebenarnya bisa dicapai dengan menggunakan ruas jalan lain. Tetapi mereka malah memilih jalan tersebut sehingga akhirnya menimbulkan kemacetan.
Dalam kasus semacam itu, orang-orang tersebut memang tidak bisa shifting ke angkutan umum karena perjalanan mereka berbeda dengan bayangan pengelola kota.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.