Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. IB Ilham Malik
Dosen Prodi Perencanaan Wilayah & Kota ITERA

Ketua Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota ITERA. Wakil Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Bidang Kajian Kebijakan Transportasi

Rencana Penerapan Jalan Berbayar di Jakarta Berbasis Asumsi?

Kompas.com - 03/02/2023, 08:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GAGASAN penerapan ERP (eletronic road pricing) atau jalan berbayar di Jakarta bisa dimaklumi karena rendahnya jumlah perpindahan pengguna kendaraan pribadi yang menjadi pengguna angkutan umum.

Dengan asumsi banyak pengendara kendaraan pribadi enggan berpindah ke angkutan umum, maka pengguna kendaraan pribadi mesti diberi “sanksi” berupa jalan berbayar dan hal ini dianggap sebagai retribusi atas peran pengendara kendaraan pribadi atas macetnya jalan raya.

Kemacetan lalu lintas menimbulkan banyak dampak negatif seperti polusi, pemborosan bahan bakar minyak (BBM), waktu terbuang percuma sehingga produktivitas menurun, kualitas barang menurun karena lama dalam perjalanan. Keengganan pengendara kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum menimbulkan masalah pada sektor lain.

Baca juga: Adakah yang Diuntungkan dari Kebijakan Jalan Berbayar di Jakarta?

Namun, benarkah pengendara kendaraan pribadi tidak berpindah ke angkutan umum karena enggan? Jangan-jangan aksesibilitas angkutan umumnya yang belum memadai? Misalnya, apakah tempat tinggal dan tempat bekerja mereka terhubung oleh angkutan umum? Apakah tersedia halte untuk mengakses angkutan umum? Apakah perjalanan dari halte bisa diakses dengan trotoar memadai menuju ke tujuan?

Tanpa Data

Tidak ada jawaban berdasarkan data untuk semua pertanyaan itu. Dari berbagai dokumen yang ada, semuanya terlihat hanya “asumsi” tanpa identifikasi data. Cenderung menyajikan fakta di tempat lain dan expert judgment (penilaian ahli).

Bagaimana kondisi riil di Jakarta? Masih belum terlihat dalam database akademik yang bisa didiskusikan. Setidaknya itu yang saya lihat dari sekian banyak dokumen yang ada terkait dengan kajian dan telaah ERP di Jakarta.

Soal lainnya, apakah pengendara kendaraan pribadi yang melintasi ruas jalan yang macet merupakan orang/kendaraan yang sama atau berbeda-beda? Mengapa hal ini perlu dicek. Jika kendaraan pribadinya sama, itu artinya kendaraan tersebut melintasi jalan macet itu karena tempat kegiatannya berada di koridor jalan tersebut atau di ujung jalan yang selalu macet tersebut.

Karena mereka sudah difasilitasi jaringan angkutan umum, misalnya, dari tempat tinggalnya ke tempat bekerjanya, maka bisa saja mereka diberi kewajiban untuk membayar retribusi jalan berbayar (congestion pricing). “Keengganan” pengendara itu untuk menggunakan angkutan umum telah menimbulkan kemacetan lalu lintas yang implikasinya macam-macam. Padahal mereka sudah diberi akses angkutan umum yang memadai.

Jika orang/kendaraan yang melintasi jalan tersebut adalah orang/kendaraan yang berbeda-beda, itu artinya mereka hanyalah pelintas jalan raya tersebut. Tujuan mereka sebenarnya bisa dicapai dengan menggunakan ruas jalan lain. Tetapi mereka malah memilih jalan tersebut sehingga akhirnya menimbulkan kemacetan.

Dalam kasus semacam itu, orang-orang tersebut memang tidak bisa shifting ke angkutan umum karena perjalanan mereka berbeda dengan bayangan pengelola kota.

Pertanyaannya, apakah pemda punya data terkait hal semacam itu? Apakah sudah ada data dan analisa terkait dengan hal itu?

Baca juga: Tanggapi Demo Ojol Tolak ERP, Heru Budi Sebut Penyusunan Aturan Jalan Berbayar Masih Lama

Jika belum, bagaimana menetapkan dasar tentang perlunya suatu kebijakan yang sensitif tersebut di Jakarta?  Jalan berbayar seharusnya dikenakan pada warga yang kotanya sudah memiliki coverage services area angkutan umum yang mencapai 100 persen.

Jika pun cakupan layanan angkutan umum tersedia di seluruh wilayah kota, tidak bisa serta merta langsung masuk ke tahapan ERP. Harus ada instrumen lain yang membuat warga enggan gunakan kendaraan pribadi.

Instrumen-instrumen itu adalah: 1) Proses yang ketat untuk pembelian kendaraan pribadi;  2) Penerapan pajak kendaraan tinggi; 3) Penerapan pajak parkir yang mahal; dan 4) Penataan guna lahan (RDTR) yang “benar”. Jika semua itu sudah dijalankan, baru bisa masuk ke tahapan penerapan jalan berbayar.

Data terkait hal itu, sejauh ini, masih belum ada, paling tidak belum ada data dan analisa yang di publikasikan terkait hal tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Megapolitan
Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Megapolitan
Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Megapolitan
Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Megapolitan
Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Megapolitan
Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Megapolitan
Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Megapolitan
“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

Megapolitan
Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Megapolitan
Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Megapolitan
Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Megapolitan
Mobil Mario Dandy Dilelang, Harga Dibuka Rp 809 Juta

Mobil Mario Dandy Dilelang, Harga Dibuka Rp 809 Juta

Megapolitan
Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura di Jakpus Prediksi Pendapatannya Bakal Melonjak

Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura di Jakpus Prediksi Pendapatannya Bakal Melonjak

Megapolitan
Periksa Kejiwaan Anak Pembacok Ibu di Cengkareng, Polisi: Pelaku Lukai Tubuhnya Sendiri

Periksa Kejiwaan Anak Pembacok Ibu di Cengkareng, Polisi: Pelaku Lukai Tubuhnya Sendiri

Megapolitan
Fahira Idris Paparkan 5 Parameter Kota Tangguh Bencana yang Harus Dipenuhi Jakarta sebagai Kota Global

Fahira Idris Paparkan 5 Parameter Kota Tangguh Bencana yang Harus Dipenuhi Jakarta sebagai Kota Global

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com