Pemerintah meyakini kebijakan ini dapat menekan kemacetan di Jakarta, karena akan membuat pengguna kendaraan pribadi berpikir untuk membawa kendaraannya jika banyak pengeluaran ekstra selain untuk bahan bakar dan parkir.
Namun penerapan ERP dibutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang cukup luas.
Bahkan di beberapa negara maju seperti Hong Kong, Edinburgh, ataupun kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat, rencana penerapan ERP mendapat banyak penolakan.
Betul saja, belum saja diterapkan, aturan soal ERP yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PLLE) mendapatkan penolakan dari masyarakat, khususnya pengemudi ojek online.
Karena penolakan itu, raperda ERP sempat akan ditarik, namun Pemprov DKI batal menarik raperda tersebut.
Seperti setengah hati, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo langsung merespons penolakan tersebut dengan mengatakan ojek online (ojol) bakal dikecualikan pada penerapan ERP.
Padahal jika diterapkan di lapangan, bagaimana cara mengidentifikasi pengendara yang merupakan ojek online atau bukan?
Pasalnya ojek online hanya bermodalkan jaket, tanpa ada perbedaan warna tanda nomor kendaraan bermotor, seperti transportasi umum lainnya yang berwarna kuning.
Sebetulnya jika menilik semua akar masalah kemacetan terjadi karena jumlah populasi dan jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta dan Bodetabek sudah melebihi kapasitas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 21,75 juta unit, atau tumbuh 7,6 persen dengan proporsi tertinggi adalah sepeda motor mencapai 75,92 persen.
Sebaliknya pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen/tahun dan diperparah dengan kondisi jalan yang rusak serta penutupan sebagian jalan karena proyek abadi gali tutup lubang utilitas bawah tanah.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengakui jika kemacetan jalan raya di berbagai daerah di Indonesia, seiring dengan semakin meningkatnya penjualan kendaraan bermotor. Untuk itu penjualan didorong untuk lebih ke arah ekspor.
"Setiap tahun tumbuh signifikan. Tahun 2022 tumbuh 18 persen untuk penjualan mobil dan juga motor mengalami peningkatan 3,3 persen. Akibatnya, kita sekarang macet di mana-mana," kata Presiden, Kamis (16/2/2023).
Namun sayangnya, pernyataan Presiden tersebut belum didukung dengan kebijakan tegas untuk pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor.
Ironisnya, pemerintah lewat kebijakannya juga mendukung kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi, baik dari skema kredit/hutang, maupun dukungan produksi kendaraan murah serta terjangkau.