JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak pernah terbayangkan bagi Fitri (42) bahwa kini dia menjadi pedagang kembang untuk para peziarah di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.
Sebelum banting setir, Fitri yang rumahnya berada di pinggir Jalan Rorotan IX lebih dulu membuka warung kelontong pada 2010.
Namun, begitu kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, kondisi mulai berubah.
Saat itu Fitri mengaku masih biasa saja kendati Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Toh, celetuk Fitri, lokasi pasien pertama Covid-19 di Depok sangat jauh dari kediamannya.
Akan tetapi, Fitri mulai gemetar ketika wabah virus corona mulai menyebar ke beberapa titik di Jakarta.
Baca juga: 2 Tahun Pandemi, 25 Hektar Lahan di TPU Rorotan Jadi Permakaman Khusus Covid-19
Warung kelontong mulai sepi seiring dengan kebijakan pemerintah mengenai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Fitri semakin khawatir karena lahan seluas 25 hektar yang hanya berjarak 20 meter dari rumahnya dijadikan Pemprov DKI Jakarta sebagai TPU khusus jenazah pasien Covid-19.
"Warga sini kan sempat kaget, takut. Ya tahunya memang buat makam, tapi enggak tahu kalau untuk jenazah Covid-19," ungkap Fitri saat ditemui Kompas.com di sela-sela berjualan kembang pada Selasa (21/3/2023).
Sejak lahan tersebut dijadikan sebagai TPU khusus jenazah Covid-19, imbasnya usaha warung Fitri menjadi sepi karena pelanggan ketakutan mendengar dan melihat ambulans silih berganti melintas di depan warung kelontongnya.
Bahkan, ambulans sampai parkir di depan warung kelontong Fitri untuk mengantre mengantar jenazah ke TPU.
"Sampai saya teleponin langganan saya. 'Kenapa enggak ada yang ke sini?', 'Takut, Bu, banyak ambulans'. Kayak begitu. Yang tadinya langganan saya banyak, sampai anjlok," ucap Fitri.
"Saya pun juga takut. Orang-orang TPU saja yang mau belanja ke sini, masih pakai APD, saya setop di depan, enggak boleh masuk sama saya. Memang suasananya sangat mengerikan saat itu," ungkap Fitri lagi.
Ketika kondisi saat itu terasa mengimpit, Fitri berpikir bahwa hidup harus tetap berjalan. Ia harus menghidupi tiga anaknya, yang dua di antaranya tengah mengemban pendidikan di pondok pesantren.
Baca juga: Kisah Korban Kebakaran di Senen, Sempat Ditangisi Ayah karena Disangka Tewas Terbakar...
Fitri kemudian mencoba berjualan pakaian dan memasarkannya melalui media sosial. Sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil maksimal.
Uang yang didapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Fitri dan keluarga.