JAKARTA, KOMPAS.com - Sardiman (54) sudah tidak mudik ke kampung halamannya di Banjarnegara, Jawa Tengah, selama enam tahun.
Porter di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, ini mengungkap, ia terkendala biaya.
"Mau pulang kampung ya belum bisa. Biayanya lebih besar daripada biaya kehidupan di Jakarta," ucap dia di area kedatangan di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Rabu (26/4/2023).
Pendapatan sehari-hari Sardiman sebagai kuli panggul tidak menentu.
Baca juga: Cerita Porter Pasar Senen, Pendapatan Naik Saat Lebaran dan Pernah Angkut Beras 40 Kg
Sementara itu, ia masih harus menafkahi empat dari enam anak-anaknya karena baru dua yang sudah bekerja.
Pada momen-momen tertentu, semisal Lebaran, Sardiman bisa meraup Rp 100.000-Rp 150.000 per hari.
Biasanya, pendapatan tersebut mulai terlihat sejak tiga hari sebelum Hari Raya Idul Fitri.
"Kadang Rp 50.000-Rp 80.000 per hari di hari biasa. Enggak menentu, jadinya kisaran pendapatan bulanan enggak bisa diukur," jelas Sardiman.
Sardiman sudah merantau di Jakarta sejak tahun 1980-an. Pada saat itu, ia tergiur dengan orang-orang di kampung halamannya yang turut merantau ke Ibu Kota mencari peruntungan.
Sejak tiba di Jakarta, berbagai pekerjaan telah Sardiman lakukan sebelum akhirnya berprofesi sebagai porter di Terminal Kampung Rambutan pada 1992.
Baca juga: Cerita Pemudik Enggan Pakai Porter, Bolak-balik Dermaga-Kapal Angkut Barang Bawaannya
Sardiman sempat berhenti pada tahun yang sama untuk bekerja di tempat lain. Namun, ia kembali menjadi porter pada 2014.
Sepanjang mencoba beragam profesi, Sardiman masih sempat mudik, sebelum akhirnya tidak bisa selama enam tahun belakangan.
"Setiap Lebaran saya sebetulnya pengi pulang ke Banjarnegara. Cuma ongkosnya besar. Umpamanya harga tiket bus Rp 300.000," ucap Sardiman.
"Anggota keluarga saya ada hampir 10 orang. Kalau dikalikan, berangkat ke sana bisa Rp 3 jutaan. Semakin ke sini ongkosnya semakin enggak cukup karena untuk biaya sehari-hari," imbuh dia.
Sardiman memiliki empat saudara kandung, yang mana dua di antaranya masih tinggal di Banjarnegara.
Baca juga: Muasal Kuli Angkut di Indonesia, Andil Kolonialisme Belanda