JAKARTA, KOMPAS.com - Trauma masih menyelimuti keluarga Yani Afri, seorang sopir angkutan kota (angkot) yang diculik tiga hari menjelang pemilihan umum (Pemilu) tahun 1997.
Kala itu kekalutan dirasakan Hardingga (30), salah satu anak Yani yang menyaksikan ayahnya pergi dan tak kembali pada 26 April 1997. Ketakutan juga dialami Tinah, istri Yani.
"Yang jelas (Tinah) trauma, takut, dan memang menarik diri dari keluarga enggak mau terlibat," ungkap Hardingga saat ditemui di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023).
Beberapa hari setelah mendengar Yani dihilangkan secara paksa, Tinah memutuskan menarik diri dari keluarga lalu pindah rumah.
Baca juga: Mengenang Yani Afri, Sopir Angkot yang Dihilangkan Paksa Tiga Hari Jelang Pemilu 1997
Tinah membawa Hardingga dan adiknya yang masih balita ke wilayah Tangerang. Di sana Tinah mencari pemasukan dengan berjualan baju dari kapal di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
"Saya dibawa ke kampung, ibu saya sementara di Jakarta. Ibu saya menghidupi perekonomian keluarga," tutur dia.
Tiga tahun kemudian, lanjut Hardingga, ia kembali lagi ke Jakarta. Namun, pada saat itu tak ada yang diceritakan Tinah soal keberadaan sang ayah. Kepada anak-anaknya, Tinah hanya berpesan agar tak bermain terlalu jauh agar tidak diculik.
"Saya sudah mengerti ketika saya sudah dewasa, orangtua saya mungkin trauma. Sampai se-trauma itu," ucap Hardingga.
Yani sendiri merupakan simpatisan PDI pro-Megawati. Dia ingin kepemimpinan negara yang kala itu dijabat Presiden Soeharto diganti.
Baca juga: Detik-Detik Sopir Angkot Yani Afri Diculik Pada 1997, Awalnya Pamit Ingin Kampanye PDI
Peristiwa penghilangan paksa baru diketahui Hardingga ketika dia duduk di kursi sekolah menengah pertama (SMP).
Pada saat itu Tinah menceritakan bahwa Yani telah diculik dan belum dinyatakan meninggal dunia. Tiga hari menjelang Pemilu, ketika Yani berkampanye, dia ditangkap dengan tuduhan membuat huru-hara.
Kini, setelah 26 tahun berlalu kabar Yani Afri masih tak terdengar oleh pihak keluarga.
"Ibu saya bilang, 'Mama mau cerita', kata dia. 'Sebenarnya bapak belum dinyatakan meninggal'. Saya kaget selama ini keluarga, lingkungan, semua orang bilang kalau saya anak yatim," kata Hardingga, menirukan percakapan dengan ibunya, Tinah.
Hardingga sendiri enggan menyebutkan bahwa ayahnya terlibat politik ataupun aktivis. Di matanya, Yani hanyalah sopir angkot dan simpatisan PDI pro-Megawati.
Baca juga: Kado Ulang Tahun Yani Afri, Sopir Angkot yang Diculik Tiga Hari Jelang Pemilu 1997
"Ayah saya itu memang simpatisan PDI, yang jelas pengin ada perubahan dan ganti presiden yang pada saat itu presidennya masih Soeharto," jelas dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.