JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengikuti sidang uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (31/8/2016) kemarin.
Sidang beragendakan pembacaan revisi dari permohonan sebelumnya yang sempat dikembalikan majelis hakim. Pada kesempatan itu, Ahok menyampaikan sejumlah alasan yang membuat dirinya mengajukan gugatan terhadap aturan kewajiban cuti bagi calon petahana.
Yang pertama, ia menilai wajib cuti bagi calon petahana sama saja dengan melanggar hak konstitusional. Sebab, petahana jadi tidak dapat menjalankan tugas jabatannya selama lima tahun penuh sesuai sumpah jabatan.
"Bahwa pemohon adalah kepala pemerintahan daerah Provinsi DKI Jakarta yang dipilih secara demokratis, dimana pada saat pemilihan kepala daerah 2012 yang lalu, pemohon terpilih sebagai Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, sebelum akhirnya sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta."
"Pemohon memiliki hak yang diatur dalam konstitusi untuk memerintah secara penuh dan menjaIankan pemerintahan daerah provinsi DKI Jakarta sebagai hasil dari pemilihan yang demokratis dengan jangka waktu yang penuh yakni Iima tahun lamanya," kata Ahok saat membacakan isi gugatannya.
Menurut Ahok, hak petahana untuk menjalani jabatan selama lima tahun sejalan dengan isi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Pasal 60 telah mengatur bahwa masa jabatan Gubernur adalah selama lima tahun terhitung sejak pelantikan," kata Ahok.
Menurut Ahok, adanya penafsiran dari pasal 70 ayat 3 huruf a UU Pilkada yang mewajibkan petahana mengambil cuti pada masa kampanye pada pemilihan kepala daerah serentak 2017, mulai dari tanggal 26 Oktober 2016 sampai dengan 11 Februari 2017, telah melanggar hak konsitusional petahana sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4, pasal 27 ayat 1, pasal 280 ayat 1 dan ayat 3.
Tidak hanya itu, Ahok menganggap kewajiban cuti kampanye bagi calon petahana telah melanggar pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Menurut Ahok, pasal 27 UU Pilkada yang mewajibkan petahana cuti kampanye telah menyebabkan adanya perbedaan kedudukan di dalam hukum, yakni terkait dengan masa jabatan petahana dan masa jabatan presiden.
Dengan adanya aturan cuti bagi petahana selama kampanye, menurut dia, masa jabatan petahana kemungkinan berkurang. Hal ini berbeda dengan masa jabatan presiden.
Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, presiden yang kembali mengikuti pemilu tidak diharuskan cuti selama masa kampanye sehingga masa jabatannya tidak berkurang.
"Padahal prinsipnya, jabatan gubernur dan jabatan presiden adalah memerintah demi memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945," kata dia.
Ahok menekankan bahwa kepala daerah petahana adalah kepanjangan tangan dari presiden di DKI Jakarta. Oleh karena itu, ia berpandangan, sudah selayaknya kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat melaksanakan tugasnya secara penuh dalam masa lima tahun sejak dilantik.
"lni sejalan dengan ketentuan UUD 1945 pasal 7 yang mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun," kata Ahok.