JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi polemik.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi melihat penetapan tersangka terhadap Ahok dikarenakan adanya desakan massa.
Sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka, aksi unjuk rasa berlangsung pada Jumat (4/11/2016). Aksi itu dilakukan untuk menuntut agar hukum ditegakkan dalam kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
"Saya melihat adanya tekanan massa inilah, yang jadi penyebab penetapan tersangka," ujar Hendardi saat dihubungi wartawan, Senin (5/12/2016).
Penetapan Ahok sebagai tersangka dilakukan berdasarkan alat bukti video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu.
Hal tersebut juga dilakukan sejumlah dokumen dan keterangan sejumlah ahli yang menilai perkara tersebut perlu dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Penetapan Ahok sebagai tersangka dinilai menjadi preseden buruk bagi kemajuan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.
Penegakan hukum atas dugaan penodaan agama tidak sepenuhnya dijalankan dengan mematuhi prinsip due process of law.
Namun, Hendardi berharap keputusan yang dibuat Polri patut dihormati.
Sebab, keputusan Polri adalah produk institusi yang patut dihormati.
"Nuansa tertekan terlihat dalam proses penyidikan. Namun karena telah menjadi putusan institusi penegakan hukum, maka proses hukum harus dihormati," imbuh Hendardi.
Sementara itu, Kejaksaan Agung telah memutuskan bahwa perkara tersangka Ahok telah dinyatakan P-21.
Dengan demikian, pihak terkait administrasi penanganan perkara di jajaran Pidana Umum Kejaksaan menyatakan berkas perkara hasil penyidikan Bareskrim Polri telah memenuhi syarat untuk dibawa ke pengadilan.
Perkara Ahok dinyatakan P-21, setelah sebelumnya penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menyerahkan berkas perkara tahap pertama kasus yang menjerat Ahok kepada Kejaksaan Agung, Jumat (25/11/2016).
Lima hari berselang, Kejaksaan Agung menyatakan perkara Ahok berstatus P-21.