Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penegakan Hukum Lingkungan Lemah

Kompas.com - 03/12/2009, 21:30 WIB

SEMARANG, KOMPAS.com - Masih banyaknya kerusakan lingkungan hidup yang terjadi karena ulah industri menunjukkan lemahnya penegakan hukum. Aspek lingkungan seringkali terabaikan demi peningkatan pendapatan asli daerah yang berorientasi mekanisme pasar.

"Sejauh ini, penegakan hukum masih tataran konsep belum dilakukan secara riil," ujar pengajar Hukum Lingkungan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, FX Adji Samekto dalam Seminar Dampak Industri Unggulan Terhadap Kerusakan dan Perubahan Lingkungan, di Unika Soegijapranata, Kota Semarang, Kamis (3/11).

Menurut Adji, industri yang sudah terbukti merusak lingkungan seharusnya diperlakukan represif secara hukum. Adapun perusahaan yang sudah memiliki kesadaran untuk memperbaiki lingkungannya cukup mendapat perlakuan responsif.

Masih lemahnya penegakan hukum, menurut Adji, membuat kerusakan lingkungan hidup oleh kalangan industri tidak teratasi. Padahal, dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi seharusnya bisa jalan tanpa harus merusak lingkungan.

Mengutip data Badan Lingkungan Hidup Jateng tahun 2008, peneliti pengembangan industri dari Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Vincent Didiek AW menuturkan, terdapat 644.955 industri di Jateng yang terdiri atas 1.062 industri besar, 2.773 industri menengah, dan 641.120 industri kecil. Padahal, instalasi pengolahan air limbah yang tercatat baru ada 296 unit.

Vincent menambahkan, hal ini menunjukkan sebagian besar industri belum mempunyai IPAL, sehingga limbah akan dibuang melalui sungai, udara, dan tempat sampah. Kondisi ini akan menimbulkan biaya sosial berupa kerusakan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Tak heran, jika terdapat 3.029.991 meter kubik limbah cair yang dibuang di sungai pada tahun yang sama .

"Tidak adanya keseimbangan antara ekonomi dan ekologi membuat lingkungan rusak. Sudah saatnya mewujudkan green industry (industri yang ramah lingkungan)," kata Vincent.

Kepala BLH Jateng Djoko Sutrisno mengakui, tingginya tingkat pencemaran karena masih banyaknya pembuangan limbah yang sulit untuk diawasi terutama untuk industri rumah tangga yang lokasinya tersebar. "Padahal, kalangan industri rumah tangga memiliki andil hingga 40 persen terhadap pencemaran lingkungan di kota-kota besar," kata Djoko.

Menurut Djoko, industri yang melakukan pencemaran lingkungan sejauh ini baru diberikan sanksi administratif belum sampai ranah pidana. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa jalur hukum merupakan langkah terakhir yang ditempuh dalam kasus lingkungan hidup dan lebih mengedepankan sanksi administrasi.

Namun, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jalur hukum bisa langsung ditempuh jika ada pencemaran lingkungan. "Untuk itu, perlu menyiapkan personel yang sudah memahami penerapan regulasi yang baru tersebut," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com