Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lenggak-lenggok Pasar Tanah Abang

Kompas.com - 15/08/2010, 10:11 WIB

Sarie Febriane

KOMPAS.com — Pada masa lalu, Pasar Tanah Abang identik dengan pakaian kodian murahan. Namun, coba tengok sekarang. Para ustaz muda berwajah bening kini tampil modis di televisi, berbalut busana asal Tanah Abang. Dakwahnya riang, sang ustaz pun sedap dipandang.

Bagaimana ”evolusi” itu bisa terjadi? Hermanto (69), pedagang di Tanah Abang, masih mengingatnya. Dia berdagang tekstil di Tanah Abang sejak tahun 1968 hingga 2006. Pada tahun 1960, kata Hermanto, pasar seperti dikepung bau obat tekstil. Itulah bau khas Pasar Tanah Abang, pasar tekstil sejak ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda, 30 Agustus 1735.

”Baru pada tahun 1980, pedagang mulai jualan pakaian jadi. Lalu, tumbuh pesat pada tahun 1990. Tahun 2000 malah jadi mayoritas jualan baju ketimbang tekstil,” kata Hermanto.

Menurut dia, konsumen akhirnya membeli pakaian jadi yang kini lebih murah ketimbang membeli kain dahulu, lalu menjahitnya. ”Tetapi, dulu image-nya baju Tanah Abang itu baju kodian, kualitas murahan. Sekarang itu sudah jauh beda. Lihat saja di butik-butik di lantai enam dan tujuh di Blok A. Desainer beken aja buka kios di sini,” katanya.

Memang, di tengah kesemrawutannya, identitas Pasar Tanah Abang tetap kuat sebagai pusat grosir dan ritel komoditas sandang untuk penjuru Nusantara. Perputaran uang per hari di pasar ini, terlebih tiap menjelang Lebaran, memang fantastis.

Hasan Basri, Dewan Pembina Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, mengatakan, di Tanah Abang saat ini ada sekitar 20.000 kios, termasuk yang di luar pengelolaan PD Pasar Jaya. Jika setiap kios omzetnya rata-rata Rp 5 juta per hari, omzet seluruh kios saja sekitar Rp 100 miliar per sehari.

”Yang kita prihatin sekarang, serbuan produk China keterlaluan. Di Pasar Pagi Mangga Dua, 90 persen barang dari China. Di Tanah Abang 50-60 persen barang dari China. Padahal, Tanah Abang adalah salah satu dari empat pasar sentral di Indonesia, selain pasar Jatinegara, Pasar Cipulir, dan Pasar Pagi Mangga Dua,” kata Hasan.

Kendati pakaian impor asal China terus menggempur, geliat industri pakaian dalam negeri yang bermuara di Tanah Abang sebenarnya masih menjanjikan. Andalannya adalah busana muslim. Tak cuma untuk perempuan, tetapi juga laki-laki. Para ustaz dan artis sinetron religi pun turut memopulerkan busana Muslim asal Tenabang ini. Pantas, Tanah Abang kini percaya diri menjadi trendsetter sekaligus penyerap tren fashion di Tanah Air. Dari pasar ini, busana mengalir ke ITC, pasar-pasar di daerah, hingga mancanegara.

Potret evolusi di Tenabang bisa disimak dari kisah produsen busana muslim Al-Mia. Merek ini orisinal dari Pasar Tanah Abang. Tahun 1998, kiosnya masih bernama Mia Tekstil, yang tentunya hanya berjualan tekstil. Baru pada tahun 2000 tekstil jualan itu disulap menjadi baju koko. Sebab, berjualan tekstil saja, marjin keuntungan kian tipis. Baju koko Al-Mia lalu dilempar ke pasar mulai dari harga Rp 120.000, jauh di atas harga pasaran baju koko di Tanah Abang saat itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com